Rabu, 08 Januari 2014

Kehidupan Etnik Bahari

by : @TriSulis_S


Indonesia memiliki suku bangsa yang sangat beragam, namun hanya beberapa suku bangsa yang mengembangkan budaya bahari yang cukup maju sehingga dapat melakukan pelayaran jarak jauh antara lain suku Tidung (Kalimantan Timur dan Sabah Timur) yang mampu berlayar hingga ke pesisir luar Kalimantan menggunakan perahu jenis jukung, lumbung, dan gubang. Suku lain yang mengembangkan  budaya bahari dengan memberi nama perahu menggunakan bahasa Sasahara agar tidak dapat diganggu oleh roh jahat yaitu Suku Sangihe dan Talaud. Dari sekian suku bangsa bahari yang mendiami Nusantara  ada yang masih bertahan hidup hingga saat ini, mereka akrab dengan kekuatan magis dan gaib. Serta mereka mahir dalam pengobatan karena mereka mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan alam sekitarmya sehingga simbol budaya mereka dipengaruhi olehnya. Simbol budaya seringkali dipengaruhi oleh lingkungan alam sekitar yang merupakan identitas dan seringkali dijadikan sebuah simbol nama suku bangsa seperti suku Dukun di Kalimantan Utara, suku Talaud di sebelah utara Sulawesi di sekitar Pulau Talaud dan suku Orang Laut di Sumatra timur dan Selat Malaka yang merupakan pelaut handal.
Suku Orang Laut tersebar di perairan Nusantara antara lain suku Orang Bajau, suku Orang Ameng Sewang, suku Orang Sekak, suku Orang Banjar, suku Orang Bugis, suku Orang Tabati, suku Orang Ambon dan suku Orang Mbojo. Suku Orang Bajau mendiami wilayah perairan Nusantara sebelah timur ini menganggap bahwa hidup tidak akan bahagia bila tidak hidup di laut sehingga anak-anak mereka lebih dipentingkan untuk menangkap ikan daripada menyekolahkan. Suku Orang Ameng Sewang berada di Sumatera memiliki pola hidup yang nomaden. Suku Orang Sekak berada di sekitar Pulau Bangka, hampir seluruh hidup mereka berada di laut dan pemimpin mereka sebagian besar memiliki kekuatan magis. Suku Orang Banjar berada di Kalimantan Selatan yang masih bertahan hidup dengan merantau ke wilayah lain di Nusantara. Suku Orang Bugis terkenal sebagai masyarakat perantau yang dinamis dan andal serta memiliki semangat bahari yang tangguh yang dapat diketahui dari daya jelajah perahu phinisi mereka yang berlayar hingga ke mancanegara. Suku Orang Tabati tinggal di Pulau Irian yang memiliki rumah terbuat dari kayu dengan membagi ruangan serta memiliki pembagian kerja dimana laki-laki pergi ke laut dan wanita tinggal di rumah. Suku Orang Ambon berada di Pulau Maluku yang terkenal dengan ritual sebelum melaut dengan memanjatkan doa kepada Tuhan agar hasil tangkapan ikan berlimpah serta terdapat pengkavlingan wilayah tangkapan ikan. Suku Orang Mbojo mendiami wilayah Nusa Tenggara Timur yang memiliki tradisi berburu.
Suku Orang Laut dikenal sebagai orang yang pemalu dan cenderung menghindari konflik sehingga sifat agresif tidak ada dalam diri mereka. Namun, jika hak-hak mereka dilanggar maka akan mengadakan perlawanan yang terbukti pada zaman kerajaan Sriwijaya. Laut menjadi ‘kebun hidup’ bagi mereka sehingga diperlukan perahu dalam mencari hasil tangkapan di laut, perahu yang mereka buat beragam dengan nama perahu Pledang salah satunya. Ujung-ujung kayu yang digunakan pada perahu harus mengarah ke haluan agar rejeki mereka mengalir serta terdapat ritual dan doa saat akan menurunkan perahu ke laut. Mereka percaya bahwa setelah mantra dibacakan perahu sudah memiliki roh atau jiwa.

Daftar Pustaka :
Pramono, Djoko, 2005. Budaya Bahari. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama


Perahu Tradisional Nusantara

by: @TriSulis_S



Perahu merupakan salah satu hasil budaya bahari sejak jaman prasejarah yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia termasuk Nusantara sebagai alat transportasi air, alat komunikasi antar masyarakat, perdagangan, mencari ikan dan berkaitan dengan religi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir Nusantara. Perahu di Nusantara memiliki ciri penggunaan cadik dan tanpa cadik yang merupakan kekhasan perahu Austronesia. Persebaran perahu bercadik tunggal sangat luas di Nusantara. Perahu juga digunakan sebagai peti mati atau tempat penguburan mayat yang terlihat pada suku Dayak Ngaju bermakna bahwa orang mati akan berpindah kea lam arwah dengan menggunakan perahu sebagai wahananya. Pada komunitas Austronesia, perahu memiliki bentuk yang bervariasi yang digunakan dalam konteks kematian. Peti mati berbentuk perahu juga dipahat dari kayu atau bongkahan batuan, dan bentuk motif perahu juga digambarkan pada kain dari kulit kayu dan kayu disimpan pada situs penguburan. Praktek penguburan dengan peti mati berbentuk perahu tidak hanya ada di Nusantara, namun ditemukan juga ddi Semenanjung Malaysia, Filipina dan Kepulauan Solomon.
            Perahu Nusantara memiliki motif dengan menggunakan perunggu yang dikenal dengan Nekara perunggu (kettledrum) yang merupakan salah satu warisan budaya logam sebagai komoditas perdagangan pada masa perundagian yang tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia menurut Soejono dalam Agus (2009:27). Nekara perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki motif geometri, benda langit, figure manusia, bentuk bangunan, fauna seperti burung, katak dan rusa serta perahu. Hiasan motif perahu ditemukan pada nekara di Kebumen, Sangeang, Salayar, Roti, Leti dan Kur menurut Kempers dalam Agus (2009:28). Motif perahu merepresentasikan “Totality and Holy Life” atau kemutlakan dan kehidupan yang suci”
            Perahu sebagai sarana transportasi air adalah usaha adaptasi manusia untuk menghadapi kondisi lingkungan alam sekitarny. Pada dasarnya prinsip dari sebuah perahu adalah benda yang dapat mengapung, dapat mengangkut manusia dan barang bawaan, serta dikendalikan ke tempat yang dituju. Pada mulanya perahu berbentuk rakit kemudian menjadi cadik. Dari segi teknologi, perahu dikelompokkan menjadi bentuk perahu lesung atau kano (dugout canoe) dan perahu papan (planked boat). Tipe perahu lesung antara lain sampan, jukung dan lesung yang dibuat dengan cara memahat kayu hingga berbentuk rongga memanjang untuk penumpang atau barang dan berbentuk runcing pada ujungnya. Untuk perahu papan bahan kayu yang digunakan tidak satiu pohon saja, sehingga bentuk perahu yang dihasilkan lebih beragam. Pembuatan perahu juga menggunakan teknik ikat yang menggunakan bahan tali ijuk untuk menyatukan papan-papan badan perahu. Selain itu digunakan tambuko untuk menyatukan badan perahu dengan gading-gading. Perahu tradisional di Nusantara sangat bervariasi dengan unsur-unsur utama mencakup lunas atau dasar, lambung, linggi, dayung, kemudi, tiang, dan layar perahu.
            Dalam upaya untuk mengetahui bentuk-bentuk perahu pada seni cadas di Indonesia perlu diperhatikan beberapa hal yaitu membedakan konstruksi lambung menjadi dua tipe teknologi konstruksi. Pertama yaitu konstruksi lambung satu batang pohon dan lambung lima komponen. Konstruksi kedua yaitu konstruksi lambung papan. Selain itu, diperhatikan bentuk layar dan tiang layar. Perahu Austronesia pada awalnya memiliki layar segitiga dan tidak selalu memakai tiang layar. Perahu layar segitiga yang memakai tiang layar, biasanya pendek. Layar segiempat agak panjang digantung miring dan digunakan setelah zaman masehi. Pada perkembangannya, konstruksi tiang layar diperkuat dengan kaki tiga pada perahu layar segi empat menurut Mahdi dalam Agus (2009:33)

Social Entrepreneurship dalam Peningkatan Kesejahteraan Nelayan

by : @TriSulis_S


Social entrepreneurship adalah usaha yang dilakukan untuk membantu baik secara materiil maupun non materiil dalam upaya peningkatan mutu masyarakat. Wirausaha sosial tidak hanya menginginkan keuntungan secara materiil tetapi dapat mengurangi beban hidup masyarakat yang memiliki keterbatasan. Usaha ini tidak hanya dilakukan di daerah temapat penduduk bermukim di perkotaan, pedesaan, daerah pertanian tetapi dapat juga dilakukan di daerah pesisisr atau masyarakat nelayan. Nelayan menjadi salah satu tujuan dari wirausaha sosial ini karena masyarakat nelayan banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan. Nelayan disini lebih ditekankan kepada nelayan pandhega  atau buruh. Karena upah yang diterima oleh nelayan pandhega sangat kecil sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar keluarga. Dengan kata lain, banyak sekali nelayan pandhega yang harus ditunjang kehidupannya baik secara ekonomi maupun sosial.
Modernisasi teknologi adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menunjang kehidupan nelayan, dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan dalam hal pengawetan ikan dapat membantu mengurangi kendala-kendala dalam hal penyimpanan maupun proses distribusi. Ikan menjadi sumberdaya laut yang mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan sehingga perlu cara khusus untuk menjaga kesegaran ikan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan es batu, namun disisi lain karena kurangnya modal membuat banyak tempat pelelangan ikan yang tidak memiliki temapat pendingin yang besar. Dengan adanya usaha sosial ini dapat diupayakan untuk pembuatan pendingin ikan yang besar dengan cara menyisihkan sebagian pendapatan para nelayan secar berkelanjutan untuk membangun pendingin ini. Modal yang diberikan oleh hasil patungan para nelayan ini dapat dijadikan sebuah modal sosial yang kuat untuk membangun integritas antar para nelayan. Namun, setelah terselesainya bangunan ini dan digunakan harus memiliki penjaga untuk mengurusi tempat pendingin ini demi kelancaran dan hasil dari sewa tempat ini dapat dibagi kepada pemilik modal sesuai dengan modal yang diberikan untuk membangun pendingin ini.

Problematika Pengimplementasian Hukum dan Kebijakan Kawasan Konservasi Pulau-pulau Kecil di Pulau Nusa Barong Kabupaten Jember

by :
Tri Sulis Setyoningrum
Abstrak
Laut menyimpan potensi sumberdaya alam yang berlimpah sehingga dapat menjadi salah satu sumber ekonomi dalam kelangsungan hidup manusia yang berada di kawasan perairan. Kawasan perairan di Indonesia sangat luas yang berada hampir di setiap kabupaten atau kota yang ada di Nusantara, salah satunya di kabupaten Jember propinsi Jawa Timur. Jember memiliki garis pantai yang cukup luas yang menjadikan kabupaten ini menjadi primadona wisata air tersendiri. Jember memiliki beberapa pulau yang menawan karena pantai yang ditawarkan, pulau Nusa barong salah satunya. Pulau Nusa Barong adalah sebuah pulau kecil yang belum berpenghuni dan memiliki eksotisme tersendiri bagi pengunjungnya. Namun, saat ini sangat disayangkan kondisi perairan yang tercemar karena penggunaan potasium, alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan sebagainya. Sehingga diperlukan upaya perlindungan dan pelestarian dibawah payung hukum yang jelas. Hal ini membuat penulis ingin menggali kendala atas pengimplementasian UU No. 27 Tahun 2007 mengenai hukum dan kebijakan kawasan konservasi pulau-pulau kecil di pulau Nusa Barong Jember khususnya.
Kata Kunci : Kebijakan, konservasi, Nusa Barong, local wisdom
I.                  Pendahuluan 
Kabupaten Jember menjadi sebuah daerah yang memiliki beberapa wilayah perairan dan pulau-pulau kecil, salah satunya adalah pulau Nusa Barong yang menjadi salah satu primadona wisata karena kealamiahan pemandangan yang ada disana. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu ekosistem yang ada di pulau ini mengalami kerusakan karena beberapa aktivitas yang dilakukan penduduk sekitar seperti menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (potassium dan dinamit) serta jangkar nelayan yang bersandar untuk mencuri telur-telur penyu yang akan dijual di pasar gelap dengan harga yang selangit. Kerusakan terumbu karang tercatat hampir 85% yang terjadi di pulau ini. Hal ini mengakibatkan produktivitas nelayan semakin berkurang hingga mencapai 20% sejak tahun 2009 hingga 2011 dengan sulit ditemukannya hampir semua jenis ikan,baik lemuru maupun tongkol yang sebelumnya menjadi hasil tangkapan mayoritas nelayan Puger.
Kerusakan ekosistem yang ada di sekitar pulau Nusa Barong dapat memicu berbagai masalah seperti berkurangnya produktivitas nelayan karena rusaknya terumbu karang yang merupakan tempat biota laut untuk berkembangbiak, beradabtasi dan bertelur serta merusak keindahan pulau yang akan mengurangi ketertarikan wisatawan untuk berkunjung ke pulau Nusa Barong. Sehingga diperlukan upaya konservasi baik dari pemerintah, LSM maupun masyarakat agar kelestarian sumberdaya laut dapat terjaga dengan baik. Namun, disisi lain diperlukan payung hukum yang jelas agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Kebijakan konservasi laut sebenarnya sudah ada dalam Undang-undang No. 27 Tahun  2007 tentang hukum dan kebijakan kawasan konservasi pulau-pulau kecil tetapi di kabupaten Jember belum dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut, oleh sebab itu penulis mengangkat judul Problematika Pengimplementasian Hukum dan Kebijakan Kawasan Konservasi Pulau-pulau Kecil di Pulau Nusa Barong Kabupaten Jember”.
II.                Pembahasan
Nusa Barong, Pulau Kecil Berpotensi Besar
Nusa Barong adalah sebuah pulau kecil di kecamatan Puger kabupaten JemberProvinsi Jawa Timur yang  terletak secara geografis berada pada 08˚ 30' 30'' LS 113˚ 17' 37'' BT dengan luas pulau 78.76 km2. Dalam sejarah disebutkan bahwa sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pulau Nusa Barong terkenal sebagai habitat satwa rusa (Cervus timorensis), penyu (Chelonidae) dan beberapa burung laut sehingga kawasan ini dikenal sebagai area perburuan rusa yang ideal. Tetapi dengan semakain maraknya perburuan rusa dikhawatirkan satwa-satwa di kawasan ini mengalami kepunahan. Untuk menghindari kerusakan hutan dan menurunnya populasi satwa, pada tanggal 9 Oktober 1920 pemerintah Hindia Belanda menerbitkan SK melalui Staatblad No. 736 yang berisi penetapan pulau Nusa Barong seluas 6100 Ha sebagai kawasan cagar alam. Saat ini, kawasan cagar ala mini berada di bawah naungan Sub Balai KSDA Jawa Timur II, sub seksi KSDA Meru Nusa Barong.
Dari segi aksesbilitas, pulau Nusa Barong dapat dicapai melalui jalur darat dan dilanjutkan dengan transportasi laut. Titik keberangkatan dapat dimulai dari kota Jember menuju PPI Puger di desa Puger Kulon kecamatan Puger lalu dilanjutkan dengan menyewa perahu nelayan menuju pulau Nusa Barong. Rute lain yang dapat ditempuh melalui desa Getem yang berjarak ± 11 km dari kecamatan Puger, dari desa ini menuju ke pulau Nusa Barong ± 30 menit dengan menggunakan perahu jukung. Kondisi jalan menuju desa Puger Kulon sudah beraspal dan dapat dilewati kendaraan roda empat. Desa ini menyediakan perahu atau kapal dengan berbagai ukuran sebagi alat transportasi laut menuju pulau Nusa Barong. Kendala transportasi yang sering terjadi adalah sering terjadi kecelakaan di pintu masuk menuju PPI Puger (Plawangan).
            Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh pulau Nusa Barong sangat beragam. Di bidang kehutanan berupa cagar alam yang masih memiliki plasma nutfah, penyu, rusa dan hewan lainnya. Di bidang perikanan, pulau Nusa Barong kaya akan ikan jenis pelagis dan demersal. Ikan pelagis menjadi ikan yang banyak ditangkap oleh nelayan di sekitar pulau ini antara lain ikan tongkol, selar, lemuru, kembung dan sebagainya yang ditangkap menggunakan jaring pukat cincin (purse seine). Ikan demersal yang umumnya ditangkap adalah ikan kerapu, kuwe, kakap, kurisi dan lain-lain yang ditangkap dengan menggunakan pancing. Selain itu, terdapat lobster dan kepiting yang hidup di perairan karang, nelayan menggunakan jaring insang dan kredet untuk menangkapnya di perairan sebelah selatan pulau Nusa Barong. Sedangkan jenis hewan rusa yang merupakan jenis hewan buruan mengalami penurunan populasi akibat perburuan liar. Di kawasan ini juga banyaki dijumpai satwa yang termasuk mamalia, aves dan reptil seperti ular. Pulau ini walaupun tidak berpenghuni namun banyak didatangi nelayan untuk menangkap ikan karena Nusa Barong merupkan wilayah fishing ground yang potensial.
Potensi Nusa Barong yang Perlu Digali
            Nusa Barong memiliki beragam potensi antara lain berpotensi sebagai obyek penelitian  ekologi karena terdapat ekologi penyu, wallet, biota laut dan terumbu karang. Penelitian di pulau ini belum pernah dilakukan. Lokasi-lokasi yang dapat dilakukan untuk penelitian ini antara lain Teluk Cambah, Teluk Jeruk, Teluk Kepuh, Teluk Ketimo, Teluk Tambakan, Teluk Plirik, Teluk Bande Alit dan Teluk Endog-endogan. Penelitian mengenai penyu belum mendetail terutama kekonsistenan satwa tersebut untuk bertelur di kawsan ini sehingga perlu pelabelan. Secara Geologi, pulau ini terdapat berbagai jenis batu-batuan diantaranya batu kaca yang belum pernah diteliti dan juga gejala-gejala alam lainnya seperti adanya tebing-tebing yang curam dan tinggi dengan lapisan-lapisan tanahnya yang sangat jelas sebagai akibat dari kerasnya deburan ombak pantai selatan. Disini, juga terdapat beberapa goa yang merupakan sarang burung walet. Pulau Nusa Barong juga memiliki situs sejarah yang belum teridentifikasi sebagai lokasi yang menjadi saksi perjuangan sejarah bangsa Indonesia. Untuk itu, penggalian sejarah perlu dilakukan untuk melengkapi sejarah bangsa ini karena hal itu perlu dilakukan untuk merawat dan melestarikan peninggalan fisik antara lain berupa bak air tawar, menara pengintai dan bunker perlindungan yang dibuat oleh penjajah.
            Nusa Barong dapat digunakan sebagai obyek wisata pendidikan karena di kawasan ini terdapat tumbuhan, satwa, ekosistem, obyek wisata sejarah dan pendidikan lingkungan. Potensi tumbuhan yang khas di kawasan ini antara lain kayu stigi (untuk pembuatan tongkat), kayu mursodo, kayu kuniran (sebagai pewarna batik) dan kayu talang pasir (sebagai dayung perahu). Jenis satwa yang sering dijumpai di kawsan ini antara lain rusa, babi hutan, budeng yang termasuk jenis mamalia. Sriti, elang laut, walet, bangau, elang coklat, mliwis yang termasuk kategori aves dan penyu, biawak, ular yang masuk dalam kategori reptil.  Di kawasan ini terdapat empat tipe ekosistem yang dapat dijumpai yaitu ekosistem pantai dengan jenis-jenis dominan nyamplung (Calophyllum inuphyllum), pandan (Pandanaceae) dan waru laut (Hibiscus tiliaceae), ekosistem mangrove dengan jenis-jenis Rhizopora sp dan Avicenia sp, ekosistem rawa dengan jenis-jenis dominan putat (Alstonia spontulas) dan sengir (Pleinocasiuma sternatifolium) serta ekosistem hutan dataran rendah dengan jenis tumbuhan yang dominan kepuh (Sterculia foetida) dan serut (Streblus asper). Objek tumbuhan, satwa dan ekosistem ini dapat digunakan untuk kegiatan pengenalan jenis-jenisnya, deskripsi tumbuhan dan satwa maupun perilaku satwa dan ekologinya.
Objek wisata sejarah di sini berupa benteng pertahanan dengan menara pengintai dan beberapa ruangan serta bak mandi peninggalan masa penjajahan Jepang yang terletak di atas Teluk Jeruk. Objek lainnya adalah makam Mbah Sindu, yang menurut cerita penduduk Puger merupakan pengikut setia Pangeran Puger. Pangeran Puger adalah pangeran Kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang melarikan diri ketika masa penjajahan Belanda. Di dalam kawasan Pulau Nusa Barong juga terdapat batu-batuan yang dapat digunakan untuk pengenalan jenis batuan, diantaranya adalah batu kaca yang merupakan bahan dasar pembuatan kaca mobil. Selain itu, pada tebing-tebing pulau yang berbatasan dengan laut terdapat lapisan-lapisan tanah yang sangat terlihat dan juga dapat menjadi objek wisata pendidikan terutama cabang ilmu geologi yang cukup menarik untuk diamati.
Pulau Nusa Barong juga berpotensi untuk pengembangan di bidang perikanan tangkap, sebaiknya dilakukan pengembangan alat tangkap perikanan pukat cincin (purse seine) dengan alat bantu rumpon permukaan. Untuk perikanan laut dalam dapat dikembangkan jaring insang dasar (bottom gillnet) dan rumpon laut dalam. Selain itu, diperlukan juga pengelolaan kawasan pesisir antara lain dalam bentuk kebijakan pemerintah seperti rehabilitasi kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang, lahan pesisir bekas penambangan pasir, pencegahan erosi pantai maupun pengendalian pencemaran yang berasal dari darat, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, pengembangan mata pencaharian alternatif serta pemanfaatan sumberdaya pesisir. Untuk pengembangan di bidang kehutanan, sebaiknya dilakukan konservasi kehutanan yang berbasis kerakyatan juga pelestarian penyu dan rusa, sehingga kelangsungan hidup penyu dan rusa di pulau tersebut dapat terjaga, serta mencegah penebangan hutan secara liar serta penangkapan ikan menggunakan bom dan racun dan juga sampah manusia yg terus mengalir dari muara Puger dan sekitarnya.
Kondisi Nusa Barong Hari Ini
Keeksotisan pulau Nusa Barong menarik perhatian wisatawan, di dunia maya pun sudah banyak yang mempromosikan pulau ini sebagai destinasi wisata lokal yang menawan. Pada tahun 2009, bahkan bupati Jember (Djalal) mengunjungi pulau ini bersama sejumlah kepala dinas dan dua investor asal Surabaya. Pemerintah Jember berminat menjadikan pulau Nusa Barong sebagai obyek tujuan wisata sehingga akan ada pengajuan proposal ke pemerintahan pusat dan provinsi. Ada pula agensi wisata yang mencoba meminta ijin kepada Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III  Jember untuk menjadikan Nusa Barong sebagai bagian paket wisata. Jika dilihat dari perspektif wisata, Nusa Barong memang layak menjadi incaran para penggemar jalan-jalan. Nusa Barong memiliki kekhasan dan keunikan, baik dari sisi flora maupun ekosistem.
BKSDA sering kerepotan menghadapi pencurian telur penyu, sarang burung walet, dan kayu sentigi yang terjadi sejak 1980. Tahun 2011 lalu, ada dua kasus pencurian telur penyu yang terbongkar, di Kota Batu dan Kecamatan Puger, Jember. Jumlah telur penyu curian yang diamankan sekitar dua ribu butir. Dua penjual mengaku mendapat telur penyu curian dari Nusa Barong. Petugas kesulitan melakukan pengawasan intensif karena sulitnya medan dan besarnya biaya transportasi. Di pulau itu tak ada air tawar, sehingga sulit dibangun pos permanen. Dulu sempat ada pos di Nusa Barong, namun hancur terkena ombak Tsunami. Jadi petugas memakai sistem berkemah saja, dan dua bulan sekali masuk ke kawasan konservasi.
Namun model kemping seperti itu bukannya tanpa kelemahan. Tim dari BKSDA tak bisa setiap saat masuk ke kawasan konservasi sesuai jadwal, terutama pada Desember dan Januari, saat puncak kedatangan penyu ke pantai dan bertelur. Saat Desember-Januari jumlah penyu yang bertelur di sana bisa mencapai 10-20 ekor semalam. Ombak yang besar membuat petugas kesulitan masuk ke Nusa Barong. Di lain pihak, pencuri telur penyu kadang nekat. Mereka berani berenang ke pantai Nusa Barong. Dari sini, BKSDA tak berani membuka pintu lebar-lebar bagi peluang dijadikannya Nusa Barong sebagai objek wisata. Apalagi pulau ini juga salah satu pulau terluar Indonesia. Jika terjadi kerusakan akibat intervensi manusia, maka sedikit-banyak akan mengganggu kedaulatan negara. Kerusakan mudah timbul di daerah itu, karena lapisan tanahnya cukup tipis.
Kerusakan terumbu karang tercatat hampir 85% yang terjadi di pulau ini. Hal ini mengakibatkan produktivitas nelayan semakin berkurang hingga mencapai 20% sejak tahun 2009 hingga 2011 dengan sulit ditemukannya hampir semua jenis ikan pelagis dan demersal. Ikan pelagis menjadi ikan yang banyak ditangkap oleh nelayan di sekitar pulau ini antara lain ikan tongkol, selar, lemuru, kembung dan sebagainya yang ditangkap menggunakan jaring pukat cincin (purse seine). Ikan demersal yang umumnya ditangkap adalah ikan kerapu, kuwe, kakap, kurisi dan lain-lain yang ditangkap dengan menggunakan pancing. Selain itu, terdapat lobster dan kepiting yang hidup di perairan karang, nelayan menggunakan jaring insang dan kredet untuk menangkapnya di perairan sebelah selatan pulau Nusa Barong yang sebelumnya menjadi hasil tangkapan mayoritas nelayan Puger. Kerusakan ekosistem yang ada di sekitar pulau Nusa Barong dapat memicu berbagai masalah seperti berkurangnya produktivitas nelayan karena rusaknya terumbu karang yang merupakan tempat biota laut untuk berkembangbiak, beradabtasi dan bertelur serta merusak keindahan pulau yang akan mengurangi ketertarikan wisatawan untuk berkunjung ke pulau Nusa Barong.
Ketiadaan Payung Hukum Kawasan Konservasi Perairan di Jember
Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau protokol. Kebijakan menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan prosedur atau protokol mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan kegiatan dilakukan untuk mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan juga bisa dikatakan sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen untuk melakukan tidakan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian sasaran pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Oleh sebab itu, Dinas Perikanan Peternakan dan Kelautan (KKP) kabupaten Jember akan menjadikan Pulau Nusa Barong di sekat Puger sebagai kawasan konservasi taman wisata perairan. Dinas KKP akan mengajukan program rehabilitasi terumbu karang termasuk pemanfaatan kawasan perairannya sebagai konservasi alam. Dalam pengelolaan kawasan, Dinas akan membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di Puger yang akan bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim III. Langkah ini diharapkan mampu menjadikan Pulau Nusa Barong sebagai benteng Kabupaten Jember yang berada di gugusan Line of Fire agar tetap lestari dan mampu menjadi pelindung ketika terjadi tsunami atau bencana lain.
Diperlukan sebuah kerangka hukum sebagai upaya pelaksanaan aktivitas yang akan dilakukan melalui kebijakan. Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau protokol – dia menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan prosedur atau protokol mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan kegiatan dilakukan untuk mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan juga bisa dikatakan sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen untuk melakukan tidakan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian sasaran pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Negara Indonesia terkenal sebagai kawasan pusat segitiga terumbu karang (The Coral Triangle Center ).
Salah satu program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dilakukan melalui konservasi yang bertujuan melindungi, melestarikan dan mengelola secara berkelanjutan sumberdaya ikan, meliputi ekosistem, jenis dan genetik ikan secara lestari dan berkelanjutan. Salah satu upaya konservasi ekosistem adalah dengan mengembangkan dan menetapkan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang dikelola dengan sistem zonasi, diantaranya zona perikanan berkelanjutan yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya dan penangkapan ikan ramah lingkungan serta zona pemanfaatan untuk kegiatan wisata bahari. Program ini tentunya sejalan dengan penerapan prinsip blue economy untuk mendukung industrialisasi kelautan dan perikanan.
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 memperkenalkan istilah baru kawasan konservasi yang berlaku untuk Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan 336 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan kesinambungan sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1(19)). Sedangkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan (Pasal 1(20)).
Pasal 28(4) menyatakan bahwa kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Setahun kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan Peraturan Menteri No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 4(1) dari Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa Kategori Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , terdiri dari:
• Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , yang selanjutnya disebut KKP3K;
• Kawasan Konservasi Maritim, yang selanjutnya disebut KKM;
• Kawasan Konservasi Perairan, yang selanjutnya disebut KKP; dan
• Sempadan Pantai.
Selanjutnya, Pasal 5 menyatakan bahwa jenis KKP3K terdiri dari kategori:
• Suaka pesisir;
• Suaka pulau kecil;
• Taman pesisir; dan
• Taman pulau kecil.
Kawasan konservasi di wilayah perairan juga menggunakan istilah yang berbeda. UU No. 31 tahun 2004 menggunakan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan UU No. 27 tahun 2007 menggunakan istilah Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Kategori kawasan dari kedua Undang-Undang ini juga berbeda, sementara sangat memungkinkan keduanya berada pada wilayah yang saling tumpang tindih.
Dinas KKP akan melakukan konservasi di wilayah selatan dan utara pulau Nusa Barong karena dua wilayah ini mengalami kerusakan yang sangat parah. Namun, undang-undang tersebut belum dapat menjadi payung hukum yang kuat karena dinas KKP masih dalam tahap untuk pembuatan SK Bupati. SK Bupati ini memuat tentang pembuatan peta daerah konservasi yang ada khususnya untuk pulau Nusa Barong sebagai bagian dari pelaksanaan UU no. 27 tahun 2007 tentang konservasi pulau-pulau kecil. Masih diperlukan beberapa tahap dalam pengajuan SK ini melalui beberapa mekanisme seperti pembuatan keputusan tingkat RT, RW, rencana Sonasi, hingga samapai pada pemberian SK oleh Bupati yang akan digunakan untuk mengusulkan ke tingkat Dirjen Kelautan dan Perikanan nasional. Namun, KKP tidak tinggal diam begitu saja melihat kerusakan ekosistem yang ada. Sehingga membentuk Pokwasmas, sebuah kelompok yang berfungsi untuk membantu mengawasi wilayah tertentu dari kerusakan sebagai akibat dari ulah negatif masyarakat. Serta membentuk suatu komunitas yang bernama KIARA (Koalisi rakyat untuk keadilan Perikanan) untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang yang telah rusak.
Oleh karena itu menjadi sangat penting artinya kegiatan konservasi terumbu karang di wilayah Nusa Barong dan sekitarnya dengan menerapkan prinsip-prinsip sistem pengelolaan kawasan konservasi laut (KKL) melalui keterpaduan, partisipasi, multi stakeholders. Upaya perlindungan atau konservasi sumberdaya alam di wilayah pulau Nusa Barong  dan sekitarnya dapat dilakukan dengan cara menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya. Kawasan konservasi pada dasarnya merupakan gerbang terakhir perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya kelautan dan ekosistemnya. Melalui cara tersebut diharapkan upaya perlindungan secara lestari terhadap sistem penyangga kehidupandan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan.
Evaluasi Kebijakan Konservasi Perairan Di Jember
Menurut William N Dunn dalam Analisis Kebijakan Publik: An Introduction  menjelaskan bahwa evaluasi merupakan salah satu dari proses ataupun siklus kebijakan publik setelah perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan, dan monitoring atau pengawasan terhadap implementasi kebijakan. Pada dasarnya, evaluasi kebijakan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut telah tercapai atau tidak. Tetapi evaluasi tidak hanya sekedar mengahasilkan sebuah kesimpulan mengenai tercapai atau  tidaknya sebuah kebijakan atau masalah telah terselesaikan, tetapi evaluasi juga berfungsi sebagai klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan masalah pada proses kebijakan selanjutnya.
Evaluasi merupakan salah satu dari prosedur dalam analisis kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan publik pada hakikatnya menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia yaitu definisi (perumusan masalah), prediksi (peramalan), preskripsi (rekomendasi), dan evaluasi yang mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari yang berfungsi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah atau pengatasan masalah.
        Weis ( 1972:2526 ) seperti yang dikatakan oleh Widodo ( 2008:124 ) menjabarkan bahwa terdapat beberapa tahap dalam evaluasi kebijakan:
1.         Formulating the program goals that the evaluation will use as criteria.
2.         Choosing among multiple goals.
3.         Investigating unanticipated consequences.
4.         Measuring outcomes.
5.         Specifying what the program is         
6.         Measuring program inputs and intervening processes.
7.         Collecting the necessary data.
        Dengan mengacu pada uraian sebelumnya maka menurut Widodo  (2008:125) untuk melakukan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan :
a. Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan kebijakan, program dan kegiatan.
b. Penjabaran tujuan kebijakan, program dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan.
c. Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan program.
d. Berdasarkan indikator pencapaian  tujuan kebijakan program tadi,  data dicari di lapangan.
e. Hasil data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dikomparasi dengan kriteria pencapaian tujuan.
Dunn merumuskan ada 5 tahap dalam membuat kebijakan (public policy) yaitu pertama penyusunan agenda kebijakan, kedua penyusunan formulasi kebijakan (sense policy), ketiga penerapan kebijakan (policy implementation), keempat proses evaluasi, kelima tahap penilaian atau evaluasi kebijakan. Dalam penyusunan kebijakan dapat melibatkan tiga elemen anatara lain eksekutif, legislatif dan pihak lain yang terkait seperti lembaga swadaya masyarakat.
Kebijakan tentang Konservasi Perairan di Jember ini belum sampai pada tahap adanya peraturan daerah mengenai konservasi perairan dan pulau-pulau kecil salah satunya pada pulau Nusa Barong di kecamatan Puger. Konservasi hanya berada di bawah naungan BKSDA, yang seharusnya berada dibawah tanggungjawab Dinas KKP Jember. Dinas KKP untuk saat ini masih dalam proses pembuatan peta zonasi kawasan konservasi yang akan diajukan kepada pusat. Untuk itu, tahapan evaluasi kebijakan masih belum dapat dilakukan karena proses pembuatan kebijakan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil masih berada dalam mekanisme tahapan kebijakan. Untuk saat ini, kekuatan hukum yang ada masih sebatas pada SK yang diturunkan oleh bupati. SK ini masaih dalam proses pengajuan kepada Dirjen Kelautan Pusat. Jika, dilihat menggunakan perspektif Dunn maka tahapan kebijakan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil masih berada dalam tahap penyususnan agenda kebijakan dan formulasi kebijakan (sense policy).
Local Wisdom sebagai Upaya Konservasi
Kebijaksanaan lokal (local wisdom) atau kearifan lokal dapat dijadikan sebagai upaya pelestarian lingkungan. Karena nilai-nilai budaya yang ada di suatu masyarakat biasanya tersembunyi pesan-pesan untuk melestarikan alam. Nilai-nilai yang disosialisasikan sejak generasi nenek moyang dapat menjadi obat yang ampuh untuk mencegah eksploitasi manusia atas alam yang terkadang kebablasan. Dalam buku Jaminan Sosial Nelayan disebutkan salah satu kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai upaya konservasi yaitu  persepsi orang Bugis terhadap ikan kerapu. Keberadaan dan pengakuan terhadap nilai-nilai budaya lokal penting bagi masyarakat Bugis karena jika diabaikan dapat menimbulkan konflik. Misalnya, orang Bugis di kabupaten Bone sangat pantang makan ikan kerapu. Jika mengkonsumsi ikan tersebut maka derajat dan kehormatannya akan turun. Dalam persepsi mereka, hanya kelompok masyarakat yang rendah status sosialnya yang mau mengkonsumsi ikan kerapu. Dalam hal ini, ada mitos terhadap ikan kerapu sehingga dapat menjaga populasi ikan kerapu yang merupakan jenis ikan demersal.
Upaya untuk melakukan konservasi sumberdaya pesisir merupakan pekerjaan besar yang sangat penting dalam menjaga keutuhan dan kelestaraian sumberdaya alam. Peran nelayan lokal dalam menggali budaya dan foklor menjadi penting untuk dilakukan mengingat upaya konservasi tidak hanya berada di bawah paying hukum semata. Di era otonomi saat ini, Pemerintah daerah merupakan pelaku utama pengelolaan kawasan. Pemerintah Daerah diberikan kewenangan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi sesuai yang diamanatkan undang-undang. Dalam konteks ini, pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dan katalis percepatan pengelolaan melalui penyusunan kebijakan, program dan prioritas nasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya mengelola secara langsung kawasan-kawasan konservasi tertentu yang bersifat strategis, misalnya pada kawasan konservasi di area pulau terluar. Dewasa ini, sesungguhnya perkembangan dalam perencanaan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil telah banyak terjadi. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, BUMN, swasta, LSM dan para pihak lain telah berbuat banyak dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya ikan di Indonesia. Kita harus menyatukan langkah dan bahu membahu mewujudkan pelestarian sumberdaya perairan yang pada akhirnya kan bermuara untuk mampu berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat.
III.                  Penutup
Kesimpulan
            Kebijakan konservasi yang ada di kabupaten Jember belum memiliki peraturan yang jelas karena masih berada dalam tahap rancangan pembuatan peta wilayah atau zonasi di beberapa titik seperti di pulau Nusa Barong salah satunya sehingga konservasi yang dilakukan belum memiliki payung hukum yang jelas dalam pelaksanaannya. Pemerintah daerah hanya memfasilitasi salah satu LSM yang bernama KIARA namun karena undang-undang yang belum masuk pada level provinsi maupun nasional memiliki kendala biaya dalam upaya pemaksimalan konservasi sehingga KIARA merasa jika konservasi yang telah dilakukan bersama masyarakat sekitar hanya menjadi kegiatan swasta tanpa bantuan pemerintah daerah. Serta masyarakat lokal diharapakan mampu menggali kearifan lokal yang diturunkan oleh nenek moyang mereka sebagai upaya pelestarian ekosistem laut. Diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak agar perlindungan dan pelestarian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan semaksimal mungkin sehingga dapat menarik wisatawan maupun meningkatkan produktivitas nelayan sehingga dapat menjadi income bagi masyarakat maupun daerah.

Referensi :
Buku
Dunn  .W,  2003,  Pengantar Analisis Kebijakan Publik,  Yogyakarta : Gajah Mada Universitas Press.
Kusnadi, 2007. Jaminan sosial Nelayan. Yogyakarta : LKiS
Santoso, A, 2008. Konservasi Indonesia : Sebuah Potert Pengelolaan dan Kebijakan. Jakarta : POKJA Kebijakan Konservasi
Satria, Arif, 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta : LKiS
Widodo, Joko, Dr.M.S, 2008. Analisis Kebijakan Publik  : Konsep, dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik. Malang : Bayumedia Publishing.
Majalah yang berjudul Laut Indonesia dalam Krisis yang diterbitkan oleh Greenpeace
PDF dengan judul Hukum dan Kebijakan Kawasan Konservasi Perairan
Website
http://www.eastjava.com/books/glorious/ina/nature.html                        


[1] Mahasiswi Prodi Sosiologi FISIP Universitas Jember. NIM 110910302002.