Rabu, 08 Januari 2014

SRTUKTUR SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN PUGER


SRTUKTUR SOSIAL MASYARAKAT  NELAYAN PUGER
(Analisis Mengenai Hubungan Patron- Klien Sebagai Basis  Hubungan Sosial -Ekonomi)
Oleh:
Solik Wahyuni[1]
Saat ini kondisi struktur sosial masyarakat pesisir Puger berada dalam hubungan patron-klien. Dimana dalam hubugan tersebut terdapat sebuah penghisapan atas pendapatan pihak klien oleh patron. Patron di sini adalah para pengambak atau pedagang perantara dan para juragan darat. Sedangkan klien di sini adalah nelayan buruh. Namun meskipun klien sebenarnya tereksploitasi mereka tetap bertahan dan tidak sadar serta menganggap itu adalah hal biasa. Dalam konteks ini penulis menggunakan teori Karl Marx tentang relasi kelas, yaitu kelas atas atau patron dengan kelas bawah atau klien untuk melihat bagaimana sebenarnya penghisapan pendapatan itu terjadi. Hasil menunjukkan bahwa ternyata di sana memang ada bentuk-bentuk penghisapan pendapatan oleh patron terhadap klien. Hal itu ditunjukkan dengan adanya penjualan hasil tangkap klien yang dijual kepada patron dihargai dibawah harga pasar, sistem penimbangan ikan yang merugikan pihak klien, serta keberadaan koperasi yang tidak pro terhadap klien.
Kata Kunci: Hubungan Patron-Klien, eksploitasi, kesadaran klien

PENDAHULUAN
            Dalam melakukan sebuah riset atau penelitian mengenai kehidupan masyarakat nelayan atau yang sering kita  sebut sebagai masyarakat pesisir, terkai dengan pola perilaku  dan interaksi yang dibangun oleh masyarakat  yang terangkai menjadi hubungan sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu  dan oleh kondisi tertentu yang oleh suparlan (Suparlan ,1986) disebut sebagai struktur sosial. Artinya  masyarakat terbagi menjadi tingkatan- tingkatan yang menempatkan di mana posisi individu dalam kelompok kemudian akan menghasilkan hak dan kewajiban berdasarkan status dan peran dalam masyarakat tertentu. Perilaku masyarakat yang terbentuk berdasarkan struktur sosial telah dilakukan berulang- ulang dan berlangsung dalam kehidupan kesehariannya. Sedangkan status yang disandang seseorang diperoleh dengan cara yang berbeda- beda baik itu melalui warisan(ascribed status), maupun status yang diraih (aschieved status). Begitu juga dengan masyarakat yang ada di puger, mereka yang berada disposisi atas  bisa karena  mereka mendapatkannya dengan berusaha dan mengumpulkan modal untuk usaha, sehingga secara ekonomi mumpuni dan menjadi orang yang berpengaruh dalam kelompok maupun komunitasnya . di sisi yang lain ada status tang diperoleh seseorang dengan cara mendapat warisan dari orang tuanya atau keluarga besarnya, sehingga tinggal meneruskan apa yang sudah digeluti oleh keluargannya. Sedangkan dalam stratifikasi masyarakat nelayan puger. Ketika posisi ekonomi menjadi dasar dalam menentukan status seseorang dalam dalam masyarakat  misal seorang pemilik kapal, maka cara memperolehnya berbeda beda mungkin karena dia merintis ari awal untuk menjadi pemilik kapal bisa juga karena dia anak seorang juragan darat.
            Seseorang yang menduduki lapisan atas akan lebih dihargai dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat pesisir, maka dari itu tidak dapat di pungkiri bahwa konflik dan kemiskinan nelayan  yang terjadi dalam masyarakat pesisir juga sering kali di sebabkan oleh struktur  sosial dalam masyarakat pesisir itu sendiri. Untuk merubah  pola hubungan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang yang sangat lama bahkan sudah menjadi budaya masyarakat pesisir sangatlah tidak mudah. Misalnya saja pola hubungan yang dibentuk berdasarkan struktur sosial yang menjadi budaya dalam masyarakat nelayan puger adalah relasi patron- klien. Banyak peneliti memandangkan bahkan mengklaim bahwa hubungan patron klien yang tercipta dalam relasi masyarakat pesisir sangat merugikan nelayan. Mereka menganggap bahwa relasi patron klian ini sebagai hubugan yang berakar dalam bentuk monopoli, artinya terdapat pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam relasi tersebut. Namun bagaimana kontruksi masyarakat terbentuk juga tidak lepas dari struktur dari masyarakat nelayan puger yang telah membudaya.hubungan patron klien seolah – olah tidak dapat dilepaskan atau di hapuskan para nelayan terlihat terikat dengan hubungan tanpa ikatan tersebut. Jadi ketika ada ada program- program pemberdayaan yang menghilangkan hubungan patron- klien di rasa akan sulit bahkan tidak akan berhasil. Oleh karena itu dirasa sangat penting mempelajari struktur  sosial masyarakat terkait dengan unsur- unsur terbentuknya supaya kita lebih mengetahui bagaimana pola interaksi dan perilaku dalam masyarakat tersebut di bangun. Hingga bagaimana hubungan patron klien dimaknai oleh masyarakat khususnya di puger. Bagaimana hubungan patron klien dapat bertahan dalam dinamika kehidupan masyarakat puger, hingga bagaimana kemungkinan pergeseran relasi dalam hubungan patron-klien. Termasuk dalam masyarakat puger yang notabennya memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat yang lain, baik pertanian, perkebunan bahkan masyarakat nelayan yang lain seperti Muncar , Lamongan, Madura, dan lain- lain. Demikian juga dalam pola adaptasi dan ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari dan keperluan usaha juga berbeda dengan yang lain. Seperti yang di ungkapkan oleh nelayan yang dikutip dalam buku  Membela Nelayan karangan Kusnadi yang menyatakan bahwa “ kalau pekerjaan bisa ditiru, tetapi rezeki tidak bisa sama perolehannya untuk setiap orang”[2]
            Bisa saja kita menghapuskan hubung patron klien yang dianggap merugikan nelayan  dengan mendirikan koperasi  belum tentu menjamin kesejahteraan masyarakat pesisir. Kemudian sisi lain (termasuk agama,budaya, politik dan sosial) dengan memahami struktur sosial nelayan akan mempermudah dalam pemahaman alur akses sosial, ekonomi, sosial, budaya, juga berkenaan dengan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat juga menjadi interpretasi posisinya dalam masyarakat, modal sosial sebagai cerminan dari masyarakat seberapa besar posisi seseorang dalam membangun hubungan dalam konteks yang lebih luas bukan sebagai masyarakat terasing. Dengan sikap solidaritas sosial yang kuat dikalangan nelayan maka  dari itu mengkaji tentang struktur masyarakat nelayan  dengan hubungnnya patron klien dirasa perlu untuk membantu keberhasilan program- program pemberdayaan masyarakat.
            Struktur sosial masyarakat tidak hanya ditentukan oleh oleh basis ekonomi melainkan dari segi kepemimpinan, kesalihan terhadap agama, pendidikan, kasta dan lain- lain, namun untuk mengkaji struktur sosial masyarakat nelayan puger dalam relasi patron- klien dan kemungkinan pergeseran terhadap relasi tersebut. Dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan maupun terhadap kemiskinan nelayan terkait dengan struktur sosial masyarakat pesisir puger.



PEMBAHASAN
            Ketika kita mengkaji mengenai karakteristik masyarakat pesisir dan yang menjadi khas dalam mengaji masyarakat pesisir adalah struktur sosial masyarakat pesisir. jika dilihat kondisi masyarakat pesisir saat ini banyak hal yang patut dilihat dalam membidik masalah dalam masyarakat pesisir. Bagaimana kemiskinan. Keterbelakangan, dan masalah – masalah pembangunan yang selalu dilekatkan dengan kehidupan masyarakat pesisir yang tidak kunjung selesei. Banyak menuai pertanyaan besar terkait dengan kondisi nelayan saat ini. Dengan kondisi yang sumber daya laut yang melimpah, yang ladangnya berada dilaut lepas tanpa batas, dengan hasil yang besar, kerja keras dengan waktu bekerja yang panjang. Masih pantaskan para nelayan itu miskin? Pantaskah para nelayan itu hidup dari belas kasihan para pengamba’. Para juragan dan subsidi pemerintah. Padahal secara logika dengan hasil tangkapan nelayan mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup bahkan melimpah. Apalagi di Indonesia sebagai negara maritim terbesar didunia dengan potensi sumber daya alam laut yang beraneka ragam namun keterbelakangan kehidupan pesisir di Indonesia masih tetap saja ada, seperti halnya di daerah puger, muncar sebagai pengekspor ikan terbesar kedua di dunia, mungkin ada hal yang salah dalam merumuskan kebijakan tanpa melihat struktur sosial masyarakat, sering kali kemiskinan terjadi karena masalah struktural dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kultural ( etos kerja, malas,budaya masyarakat) .  Maka dari itu dalam tulisan ini akan lebih menitik beratkan pada struktur sosial masyarakat nelayan terbatas pada hubungan produksi, terkait hubungan patron-klien. mengapa demikian karena meskipun struktur sosial dapat didasarkan pada beberapa hal seperti politik, ekonomi,pendidikan, profesi dan lain- lain yang pastinya sesuatu itu dihargai oleh masyarakat. Dari beberapa hal tersebut yang paling banyak pengaruhi oleh dimensi ekonomi. Mengapa demikian karena struktur ekonomi akan membentuk struktur yang lain politik, sosial, budaya, pekerjaan maupun pendidikan. Namun ekonomi yang  paling menentukan karena seperti realitas sekarang ini banyak hal yang i tentukan oleh hal yang sifatnya materi, ketika pendidikan menjadi basis dalam menentukan kedudukan seseorang , namun pendidikan dalam masyarakat pesisir hanya untuk orang- orang yang kaya, orang-orang yang memiliki status sosial tinggi dari segi ekonomi. Dari contoh ini saja sudah jelas mengapa dimensi ekonomi banyak berpengaruh besar dalam menentukan struktur sosial dalam masyarakat khususnya struktur sosial dalam masyarakat pesisir.

Hubungan Patron Klien Sebagai Ciri Masyarakat Pesisir Puger
            Kuatnya  hubungan patron klien dalam masyarakat pesisir  terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh para nelayan yang berisiko dan dan ketidakpastian. Maka salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan hidup dan untuk mempertahankan hidup. Seolah olah patron klien dianggap sebagai jaminan sosial  untuk para nelayan. Mengapa demikian karena realitasnya pada saat ini himpitan ekonomi di kalangan masyarakat pesisir yang memaksa mereka untuk melakukan segala cara untuk dapat mempertahankan hidup untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan keluarganya, apalagi musim yang berlaku dalam kehidupan pesisir juga memaksa mereka harus tetap bisa mempertahankan hidup. Mungkin ketika musim ikan tiba para nelayan dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan hidup mereka, Namun ketika musim paceklik tiba mereka akan sulit sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bahkan seperti yang diungkapkan oleh salah satu nelayan puger ketika musim paceklik tiba:
"Kalau tidak melaut Nelayan memilih memperbaiki jaring dan mesin perahu dari pada harus mencari pekerjaan lain seperti jadi tukang becak dll, kecuali kalo memang punya usaha sampingan”[3].
 Artinya melaut sudah menjadi harga mati  bagi para sebagian nelayan mereka memilih untuk tidak bekerja dan memperbaiki jaring mereka dari pada harus mencari pekerjaan lain.ini dapat dikatakan sebagai kontruksi sosial di masyarakat nelayan puger mengenai makna melaut dan memenuhi kebutuhan hidup menurut cara mereka sendiri. Akhirnya untuk menjaga kelangsungan hidup mereka dimasa paceklik mereka memanfaatkan peran dari para pengamba’, tengkulak, maupun para juragan darat untuk dapat memenuhi kebutuhan sewaktu- waktu.  Para pengamba’ ini mengambil peran yang strategis dalam relasi patron klien ini soalnya mereka akan membantu memberikan pinjaman uang kepada para nelayan buruh atau klien untuk memenuhi kebutuhannya dan mereka tidak perlu lagi membayarnya pada waktu yang ditentukan tetapi kapan saja mereka punya uang bahkan perkembangan hubungan patron- klien para nelayan buruh tidak lagi hars membayarnya dalam bentuk uang melainkan dengan hasil tangkapan ka mereka dimasa panen ikan. Peran para patron ini sebagai penolong bagi para nelayan karena ditengah himpitan ekonomi para nelayan merasa masih bisa mencukupi kehidupan keluarganya.
            Hubungan yang dibangun antara patron dan klien berbasis pada hubungan sosial dan ekonomi artinya dari sisi yang lain hubungan patron -klien sebagai relasi yang menghubungkan hubungan kekerabatan dan solidaritas yang kuat di antara mereka, namun disisi lain hubungan patron klien dianggap sebagai hubungan berbasis pada eksploitasi. Mengenai hubungan patron klien ini . Legg (1983)  dalam Arif Satria (2002)[4], mengungkapkan  bahwa tata hubungan patron- klien umumnya berkaitan dengan
1.      Hubungan antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama.
2.      Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban.
3.      Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan.
Sedangkan dasar hubungan patron klien dalam masyarakat pesisir puger hanya berbasis pada kepercayaan dan keberlanjutan dari relasi tersebut. Para nelayan menganggap bahwa apa yang telah diberikan oleh para orang yang di sini disebut sebagai patron seimbang dengan hasil tangkap yang diberikan oleh para nelayan. Para nelayan ini tidak merasakan adanya bentuk eksploitasi dari para patron terhadap dirinya. Dan keadaan seperti ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Para nelayan menyadari akan kemiskinan dirinya dalam ekonomi namun mereka tidak menyadari dan tidak ingin mencari tahu apa yang menjadi sebab dari kemiskinan mereka ini. kategori- kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian bantuan penghidupan subsistensi dasar , jaminan sosial,khususnya pemberian modal  untuk pembelian alat tangkap  dan klien menjual hasil tangkapannya terhadap patron  lebih rendah dari harga pasar . dalam hal ini para nelayan dalam posisi sebagai Prince taker. Di puger misalnya para nelayan harus menjual harga ikan lemuru dengan harga 15.000 per kg sedangkan harga pasar 20.000 per kg. Menghadapi kenyataan seperti ini , nelayan tidak memiliki kekuatan untuk meningkatkan posisi tawar mereka meskipun mereka sadar bahwa keadaan yang seperti itu sangat merugikan mereka.

Relasi Patron Klien Sebagai Bentuk Eksploitasi  terhadap Kaum Nelayan

            Jika kita perhatikan  bagaimana hubungan patron - klien dalam kehidupan masyarakat pesisir ini berawal dan mengambil peran dalam pemenuhan kehidupan para nelayan ketika di masa paceklik mereka tidak berpenghasilan dan ketika mereka mau melaut membutuhkan perahu maka para patron memberi bantuan menyewakan perahu mereka dengan sistem bagi hasil dari hasil tangkapan nelayan. selain itu hubungan patron klien ini juga di latar belakangi oleh struktur sosial masyarakat pesisir Puger yang mana menempatkan posisi nelayan sebagai pihak yang terdominasi dan modal sosial yang kecil. Jika kita kaitkan dengan teori Marx tentang kelas sosial[5].


“Ketika dalam masyarakat itu terdapat relasi kepemilikan faktor produksi makan akan timbul yang namanya masyarakat kelas. Dari sini akan muncul kelas- kelas yang mendominasi atau superordinat dan masyarakat sub ordinat atau masyarakat yang terdominasi.”
 namun mengapa analisis marx ini kurang relevan untuk mengkaji permasalahan patron klien dalam masyarakat pesisir. Ketika marx menyatakan dengan adanya pertentangan kelas  akan muncul kesadaran dalam kelas. Kenyataannya dalam hubungan patron klien masyarakat pesisir jarang terjadi pertentangan yang melibatkan hubungan si patron dan si klien dan kalaupun ada konflik itu konflik yang secara horizontal antar sesama nelayan, perebutan pembatas dan kepemilikan Rumpon. Dari analisis dengan menggunakan konsep marx diatas  dapat dijelaskan bahwa nelayan sebagai kelompok yang terdominasi. Ketika para nelayan ini menjual hasil tangkapannya pada pengamba’ dengan harga yang lebih murah dari harga pasar dan mereka hanya berfikir untuk sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa ada pikiran untuk mengakumulasi modal demi memperluas usaha untuk mendapat keuntungan yang lebih. Tidak mengherankan ketika kemiskinan masih banyak terjadi pada masyarakat pesisir atau nelayan Puger karena hasil tangkapan tidak sesuai dengan jumlah uang atau penghasilan yang di dapat  dan harga sudah ditentukan oleh para patron.
 Selain itu hubungan patron klien yang terjalin  dengan juragan darat atau pemilik kapal. Sistem bagi hasil yang diterapkan bahwa 50% hasil tangkapan laut diberikan oleh pemilik kapal sedangkan 50% dibagi dengan sejumlah ABK yang jumlahnya kurang lebih 50 orang dan masih dipotong dengan biaya operasional dan perawatan kapal. Kondisi patron klien yang demikian masih tetap berjalan dalam kebudayaan masyarakat sebelah selatan Jember ini. Lalu masihkah kita harus bertanya mengapa kemiskinan dan keterbelakangan tetap terjadi pada masyarakat pesisir? Maka rasanya tidak adil bagi para nelayan jika kemiskinan itu di sebabkan oleh kultural, faktor internal dari individu yang malas dan etos kerja yang kurang bagus. Karena pada dasarnya nelayan sudah bekerja keras untuk mendapatkan hasil tangkapan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan kemiskinan yang ada di dalam masyarakat nelayan banyak disebabkan oleh faktor eksternal yakni struktur sosial dari masyarakat Puger itu sendiri termasuk juga kebijakan pemerintah yang belum benar- benar melihat permasalahan pesisir secara kompleks. seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini[6]:
Dari gambar diatas merupakan gambar para istri dari para nelayan  Puger yang menjual hasil melaut di tempat pelelangan ikan. Mereka kurang memiliki ruang untuk mengolah hasil tangkapan pascapenangkapan. Akhirnya sebagian ikan yang tidak dijual pada para patron mereka dijual pada tempat ini. Semakin terlihat jelas di mana sebenarnya posisi nelayan. Mereka bukan sebagai orang yang berpengaruh besar terhadap dinamika hidup masyarakat pesisir walaupun sebenarnya kebutuhan akan ikan berasal dari tangan mereka ini. Mereka kurang memiliki akses untuk mengembangkan sektor ekonomi pascapenangkapan. Akhirnya banyak orang- orang yang mempunyai modal diempaykan pada posisi patron nelayan,munculnya para pedagang perantara, bandong,dan lain- lain. Para pengambak yang akhirnya akan menjualnya pada pemilik alat taangkap. Arus sebaliknya nelayan akan mendapat pinjaman untuk modal melaut dan biaya hidup dimasa paceklik.

Pergeseran  Relasi Patron Klien Di Masyarakat Nelayan Puger
            Seiring dengan perkembangan dinamika penduduk dalam masyarakat pesisir, akan menimbulkan perubahan baru dalam struktur sosial masyarakat. Ketika era kapitalisme ini sudah menjalar sampai pada masyarakat Puger maka seseorang termasuk nelayan tidak lagi berorientasi pada kebutuhan subsistem saja tetapi mulai berfikir bagaimana mendapatkan keuntungan yang besar. Dari sinilah mulai muncul para nelayan pemilik     karena dalam struktur sosial masyarakat Puger para pemilik kapal ini termasuk orang yang secara ekonomi berada pada lapisan atas. Karena banyaknya para nelayan pemilik maka untuk mengoperasikan perahunya mereka banyak membutuhkan banyak ABK, jadi pergeseran di sini beralih dari yang awalnya ABK ini banyak membutuhkan kapal untuk melaut, menjadi terbalik para pemilik kapal mencari ABK untuk melaut.
            Banyaknya nelayan pemilik dan semakin dibutuhkannya para ABK ini maka akan membuat posisi ABK menjadi pihak minoritas yang dominan.ini juga akan berpengaruh terhadap pola bagi hasilnya, para nelayan memiliki nilai tawar yang lebih karena posisinya sebagai pihak yang dibutuhkan dan kemunculan sistem upah harian dalam kegiatan penangkapan. Sistem upahan ini juga disebabkan oleh kelangkaan tenaga kerja . di Puger pada tahun 2009 upah per pandhiga dalam sekali melaut 15.000 yang pastinya memberatkan pemilik perahu. Posisi nelayan yang naik karena banyak dibutuhkan akan mengakibatkan mereka saling bekerja sama secara kolektif. Mereka akan membentuk suat hubungan yang fungsional dan saling menguntungkan. Mungkin ketika kita melihat hal ini dar sudut pandang para pemilik perahu dan para patron ini merugikan para patron, tetapi jika kita melihatnya dari sudut pandang klien atau nelayan buruh ini akan membatu para nelayan keluar dari lingkaran hubungan patron klien yang bersifat eksploitatif.
Keterlibatan para nelayan dengan adanya sistem kemitraan akan membantu nelayan untuk  dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di masa paceklik dan membantuan meningkatnya usaha penangkapan di masa panen ikan.
            Namun disisi yang lain, dalam unit penangkapan yang semakin modern seiring dengan perkembangan dinamika penduduk tingkat kesenjangan Perolehan pendapatan di nelayan Puger masih sangat besar antara nelayan buruh dan nelayan pemilik. Adanya jenis pekerjaan baru seperti adanya pedagang [perantara, tengkulak dan pengamba’ hanya menambah posisi nelayan semakin tersingkirkan. Ketidakpuasaan nelayan buruh terhadap sistem bagi hasil yang demikian akan bertambah apabila operasi perahu tidak mendapatkan penghasilan, nelayan buruh mendapatkan suat kompensasi dalam bentuk apa apapun dari pemilik perahu tersebut. Sebenarnya apabila sistem kemitraan dapat dijalankan dengan menerapkannya ke dalam koperasi dan memainkan para pemegang saham untuk memperbesar usahanya sedangkan para nelayan ikut mengoperasikan jalanya koperasi tersebut, sedikit banyak akan membantu dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir dan meningkatkan ekonomi perikanan. Pertanyaannya akankah sistem kemitraan ini akan berjalan lama apabila diterapkan di Puger? Jawabanya akan sulit, masalahnya kemunculan pedagang perantara dalam proses produksi dan pemasaran hasil penangkapan ikan nelayan telah menggantikan kedudukan dan peranan koperasi. Mengapa demikian karena di derah puger sebelum adanya koperasi atau sebelum didirikannya koperasi para pedagang perantara ini sudah memainkan peran yang sangat strategis. Tetapi dalam upaya untuk memajukan koperasi yang dibentuk melalui sistem kemitraan ini kita tidak bisa memutus hubungan begitu saja antara nelayan dan pedagang perantara. Karena nelayan begitu terikat dengan mereka.
            Meskipun nelayan sangat bergantung dan terikat pada pedagang perantara, namun para nelayan juga sering mengeluh terhadap tingkat harga yang ditentukan . jika awalnya yang kita titik beratkan adalah ketika harga lebih rendah dari harga pasar tetapi ini yang menjadi masalah para nelayan adalah hasil penimbangan dari hasil tangkapan nelayan yang tidak sesuai dengan hasil timbangan para nelayan. Jadi meskipun hasil tangkapannya banyak tidak berimbas positif bagi para nelayan khususnya di Puger.
KONKLUSI 
Pada dasarnya tidak selamanya  struktur sosial masyarakat selalu terkait dengan permasalahan yang di dalam masyarakat pesisir, baik itu dari segi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Namun kita harus jeli melihat akar permasalahan dalam masyarakat pesisir ini melalui konstruksi dari masyarakat yang tercermin dalam struktur sosial masyarakatnya. Bagaimana posisi nelayan dalam dalam masyarakat pesisir itu, bagaimana strategi hidup untuk bertahan dalam masyarakat nelayan tertentu dan bagaimana pula mereka membangun dunia sosialnya termasuk kitanya dengan kemunculan relasi patron klien dan pengaruhnya dalam kehidupan selanjutnya? Itu semua dapat di telusuri dan di analisis melalui struktur sosial masyarakatnya.
Tidak bisa di salahkan jika banyak anggapan bahwa relasi patron klien yang muncul dalam kehidupan masyarakat pesisir berawal dari hubungan yang sifatnya menolong menjadi hubungan yang di anggap monopolistik, hal ini didasari pada konsep mengenai patron klien yang basis hubungan mutualisme. Namun kenyataannya sekarang ini hubungan patron klien banyak merugikan nelayan. Sebelum masa panen ikan tiba para nelayan banyak pinjam uang pada para pengamba’ atau pedang perantara. Dan para nelayan buruh tidak perlu membayarnya dalam bentuk uang melainkan di bayarkan dengan menjual hasil tangkapan ikan pada para pengamba’. Ini yang dianggap sebagai relasi yang berbasis pada hubungan sosial dan berlangsung lama hingga sampai sekarang ini. Namun hubungan patron klien ini berkembang menjadi hubungan keterikatan yang akhirnya banyak nerugkan para nelayan dan juga dapat dikatakan sebagai penyebab nelayan miskin, nelayan buruh  juga di dapat disebut sebagai lapisan sosial yang paling miskin di pedesaan pesisir[7].
Ikatan patron- klien menjalankan mekanisme dengan cara khususnya pemberian modal  untuk pembelian alat tangkap  dan klien menjual hasil tangkapannya terhadap patron  lebih rendah dari harga pasar . dalam hal ini para nelayan dalam posisi sebagai pengambil harga dan mekanisme harga sudah si tentukan oleh para pengamba’ ini.












DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Kusnadi.2002.Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan Dan Perebutan Sumber Daya     Perikanan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta
Satria, Arif.2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir.Jakarta:PT PUSTAKA CIDESINDO.
Kusnadi.2003.Membela Nelayan.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Purwanto, Hery. 2007.Strategi Hidup Masyarakat Nelayan.Yogyakarta: LKiS Yogyakarta
Kusnadi.2000.Perempuan Pesisir.Yogyakarta: LKiSYogyakarta

Internet:

Berita
REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER pada  hari kamis, 11 April 2013, 10:38 WIB




[1] Solik wahyuni adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
[2] Kusnadi dalam “Membela Nelayan”2013:34.
[3] Dikutip dalam  REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER pada  hari kamis, 11 April 2013, 10:38 WIB
[4] Arif Satria dalam buku pengantar sosiologi masyarakat pesisir  2002:32.
[5] Rietzer, George dan Douglas J. Goodman.. Teori Sosiolog Modern 2004:98

[7] Kusnadi dalam buku”konflik sosial nelayan:kemiskinan dan perebutan sumber daya perikanan2002: 1-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar