SRTUKTUR SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN PUGER
(Analisis Mengenai Hubungan Patron- Klien Sebagai
Basis Hubungan Sosial -Ekonomi)
Oleh:
Solik Wahyuni[1]
Saat ini kondisi struktur sosial masyarakat pesisir Puger
berada dalam hubungan patron-klien. Dimana dalam hubugan tersebut terdapat
sebuah penghisapan atas pendapatan pihak klien oleh patron. Patron di sini
adalah para pengambak atau pedagang perantara dan para juragan darat. Sedangkan
klien di sini adalah nelayan buruh. Namun meskipun klien sebenarnya tereksploitasi
mereka tetap bertahan dan tidak sadar serta menganggap itu adalah hal biasa. Dalam
konteks ini penulis menggunakan teori Karl Marx tentang relasi kelas, yaitu
kelas atas atau patron dengan kelas bawah atau klien untuk melihat bagaimana
sebenarnya penghisapan pendapatan itu terjadi. Hasil menunjukkan bahwa ternyata
di sana memang ada bentuk-bentuk penghisapan pendapatan oleh patron terhadap
klien. Hal itu ditunjukkan dengan adanya penjualan hasil tangkap klien yang
dijual kepada patron dihargai dibawah harga pasar, sistem penimbangan ikan yang
merugikan pihak klien, serta keberadaan koperasi yang tidak pro terhadap klien.
Kata Kunci: Hubungan Patron-Klien, eksploitasi, kesadaran klien
PENDAHULUAN
Dalam
melakukan sebuah riset atau penelitian mengenai kehidupan masyarakat nelayan
atau yang sering kita sebut sebagai
masyarakat pesisir, terkai dengan pola perilaku
dan interaksi yang dibangun oleh masyarakat yang terangkai menjadi hubungan sosial yang
relatif stabil dalam jangka waktu tertentu
dan oleh kondisi tertentu yang oleh suparlan (Suparlan ,1986) disebut
sebagai struktur sosial. Artinya
masyarakat terbagi menjadi tingkatan- tingkatan yang menempatkan di mana
posisi individu dalam kelompok kemudian akan menghasilkan hak dan kewajiban
berdasarkan status dan peran dalam masyarakat tertentu. Perilaku masyarakat
yang terbentuk berdasarkan struktur sosial telah dilakukan berulang- ulang dan
berlangsung dalam kehidupan kesehariannya. Sedangkan status yang disandang
seseorang diperoleh dengan cara yang berbeda- beda baik itu melalui
warisan(ascribed status), maupun status yang diraih (aschieved status). Begitu
juga dengan masyarakat yang ada di puger, mereka yang berada disposisi
atas bisa karena mereka mendapatkannya dengan berusaha dan
mengumpulkan modal untuk usaha, sehingga secara ekonomi mumpuni dan menjadi
orang yang berpengaruh dalam kelompok maupun komunitasnya . di sisi yang lain
ada status tang diperoleh seseorang dengan cara mendapat warisan dari orang
tuanya atau keluarga besarnya, sehingga tinggal meneruskan apa yang sudah
digeluti oleh keluargannya. Sedangkan dalam stratifikasi masyarakat nelayan
puger. Ketika posisi ekonomi menjadi dasar dalam menentukan status seseorang
dalam dalam masyarakat misal seorang
pemilik kapal, maka cara memperolehnya berbeda beda mungkin karena dia merintis
ari awal untuk menjadi pemilik kapal bisa juga karena dia anak seorang juragan
darat.
Seseorang
yang menduduki lapisan atas akan lebih dihargai dan memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam kehidupan masyarakat pesisir, maka dari itu tidak dapat di
pungkiri bahwa konflik dan kemiskinan nelayan
yang terjadi dalam masyarakat pesisir juga sering kali di sebabkan oleh
struktur sosial dalam masyarakat pesisir
itu sendiri. Untuk merubah pola hubungan
yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang yang sangat lama bahkan sudah
menjadi budaya masyarakat pesisir sangatlah tidak mudah. Misalnya saja pola
hubungan yang dibentuk berdasarkan struktur sosial yang menjadi budaya dalam
masyarakat nelayan puger adalah relasi patron- klien. Banyak peneliti
memandangkan bahkan mengklaim bahwa hubungan patron klien yang tercipta dalam
relasi masyarakat pesisir sangat merugikan nelayan. Mereka menganggap bahwa
relasi patron klian ini sebagai hubugan yang berakar dalam bentuk monopoli,
artinya terdapat pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam relasi tersebut.
Namun bagaimana kontruksi masyarakat terbentuk juga tidak lepas dari struktur
dari masyarakat nelayan puger yang telah membudaya.hubungan patron klien seolah
– olah tidak dapat dilepaskan atau di hapuskan para nelayan terlihat terikat
dengan hubungan tanpa ikatan tersebut. Jadi ketika ada ada program- program
pemberdayaan yang menghilangkan hubungan patron- klien di rasa akan sulit
bahkan tidak akan berhasil. Oleh karena itu dirasa sangat penting mempelajari
struktur sosial masyarakat terkait
dengan unsur- unsur terbentuknya supaya kita lebih mengetahui bagaimana pola
interaksi dan perilaku dalam masyarakat tersebut di bangun. Hingga bagaimana
hubungan patron klien dimaknai oleh masyarakat khususnya di puger. Bagaimana
hubungan patron klien dapat bertahan dalam dinamika kehidupan masyarakat puger,
hingga bagaimana kemungkinan pergeseran relasi dalam hubungan patron-klien.
Termasuk dalam masyarakat puger yang notabennya memiliki kebudayaan yang
berbeda dengan masyarakat yang lain, baik pertanian, perkebunan bahkan
masyarakat nelayan yang lain seperti Muncar , Lamongan, Madura, dan lain- lain.
Demikian juga dalam pola adaptasi dan ekonomi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari- hari dan keperluan usaha juga berbeda dengan yang lain.
Seperti yang di ungkapkan oleh nelayan yang dikutip dalam buku Membela Nelayan karangan Kusnadi yang
menyatakan bahwa “ kalau pekerjaan bisa ditiru, tetapi rezeki tidak bisa sama
perolehannya untuk setiap orang”[2]
Bisa
saja kita menghapuskan hubung patron klien yang dianggap merugikan nelayan dengan mendirikan koperasi belum tentu menjamin kesejahteraan masyarakat
pesisir. Kemudian sisi lain (termasuk agama,budaya, politik dan sosial) dengan
memahami struktur sosial nelayan akan mempermudah dalam pemahaman alur akses
sosial, ekonomi, sosial, budaya, juga berkenaan dengan modal sosial yang
dimiliki oleh masyarakat juga menjadi interpretasi posisinya dalam masyarakat,
modal sosial sebagai cerminan dari masyarakat seberapa besar posisi seseorang
dalam membangun hubungan dalam konteks yang lebih luas bukan sebagai masyarakat
terasing. Dengan sikap solidaritas sosial yang kuat dikalangan nelayan
maka dari itu mengkaji tentang struktur
masyarakat nelayan dengan hubungnnya
patron klien dirasa perlu untuk membantu keberhasilan program- program
pemberdayaan masyarakat.
Struktur
sosial masyarakat tidak hanya ditentukan oleh oleh basis ekonomi melainkan dari
segi kepemimpinan, kesalihan terhadap agama, pendidikan, kasta dan lain- lain,
namun untuk mengkaji struktur sosial masyarakat nelayan puger dalam relasi
patron- klien dan kemungkinan pergeseran terhadap relasi tersebut. Dan
bagaimana pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan maupun terhadap
kemiskinan nelayan terkait dengan struktur sosial masyarakat pesisir puger.
PEMBAHASAN
Ketika
kita mengkaji mengenai karakteristik masyarakat pesisir dan yang menjadi khas
dalam mengaji masyarakat pesisir adalah struktur sosial masyarakat pesisir.
jika dilihat kondisi masyarakat pesisir saat ini banyak hal yang patut dilihat
dalam membidik masalah dalam masyarakat pesisir. Bagaimana kemiskinan.
Keterbelakangan, dan masalah – masalah pembangunan yang selalu dilekatkan
dengan kehidupan masyarakat pesisir yang tidak kunjung selesei. Banyak menuai
pertanyaan besar terkait dengan kondisi nelayan saat ini. Dengan kondisi yang
sumber daya laut yang melimpah, yang ladangnya berada dilaut lepas tanpa batas,
dengan hasil yang besar, kerja keras dengan waktu bekerja yang panjang. Masih
pantaskan para nelayan itu miskin? Pantaskah para nelayan itu hidup dari belas
kasihan para pengamba’. Para juragan dan subsidi pemerintah. Padahal secara
logika dengan hasil tangkapan nelayan mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup
bahkan melimpah. Apalagi di Indonesia sebagai negara maritim terbesar didunia
dengan potensi sumber daya alam laut yang beraneka ragam namun keterbelakangan
kehidupan pesisir di Indonesia masih tetap saja ada, seperti halnya di daerah
puger, muncar sebagai pengekspor ikan terbesar kedua di dunia, mungkin ada hal
yang salah dalam merumuskan kebijakan tanpa melihat struktur sosial masyarakat,
sering kali kemiskinan terjadi karena masalah struktural dan hanya sebagian
kecil yang disebabkan oleh kultural ( etos kerja, malas,budaya masyarakat) . Maka dari itu dalam tulisan ini akan lebih
menitik beratkan pada struktur sosial masyarakat nelayan terbatas pada hubungan
produksi, terkait hubungan patron-klien. mengapa demikian karena meskipun
struktur sosial dapat didasarkan pada beberapa hal seperti politik,
ekonomi,pendidikan, profesi dan lain- lain yang pastinya sesuatu itu dihargai
oleh masyarakat. Dari beberapa hal tersebut yang paling banyak pengaruhi oleh
dimensi ekonomi. Mengapa demikian karena struktur ekonomi akan membentuk struktur
yang lain politik, sosial, budaya, pekerjaan maupun pendidikan. Namun ekonomi
yang paling menentukan karena seperti
realitas sekarang ini banyak hal yang i tentukan oleh hal yang sifatnya materi,
ketika pendidikan menjadi basis dalam menentukan kedudukan seseorang , namun
pendidikan dalam masyarakat pesisir hanya untuk orang- orang yang kaya, orang-orang
yang memiliki status sosial tinggi dari segi ekonomi. Dari contoh ini saja
sudah jelas mengapa dimensi ekonomi banyak berpengaruh besar dalam menentukan
struktur sosial dalam masyarakat khususnya struktur sosial dalam masyarakat
pesisir.
Hubungan
Patron Klien Sebagai Ciri Masyarakat Pesisir Puger
Kuatnya hubungan patron klien dalam masyarakat pesisir terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh
para nelayan yang berisiko dan dan ketidakpastian. Maka salah satu upaya untuk
menjaga kelangsungan hidup dan untuk mempertahankan hidup. Seolah olah patron
klien dianggap sebagai jaminan sosial
untuk para nelayan. Mengapa demikian karena realitasnya pada saat ini
himpitan ekonomi di kalangan masyarakat pesisir yang memaksa mereka untuk
melakukan segala cara untuk dapat mempertahankan hidup untuk menjaga
kelangsungan hidupnya dan keluarganya, apalagi musim yang berlaku dalam
kehidupan pesisir juga memaksa mereka harus tetap bisa mempertahankan hidup.
Mungkin ketika musim ikan tiba para nelayan dapat dengan mudah memenuhi
kebutuhan hidup mereka, Namun ketika musim paceklik tiba mereka akan sulit
sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bahkan seperti yang diungkapkan
oleh salah satu nelayan puger ketika musim paceklik tiba:
"Kalau
tidak melaut Nelayan memilih memperbaiki jaring dan mesin perahu dari pada harus mencari pekerjaan lain seperti jadi
tukang becak dll, kecuali kalo memang punya usaha sampingan”[3].
Artinya melaut
sudah menjadi harga mati bagi para
sebagian nelayan mereka memilih untuk tidak bekerja dan memperbaiki jaring
mereka dari pada harus mencari pekerjaan lain.ini dapat dikatakan sebagai
kontruksi sosial di masyarakat nelayan puger mengenai makna melaut dan memenuhi
kebutuhan hidup menurut cara mereka sendiri. Akhirnya untuk menjaga
kelangsungan hidup mereka dimasa paceklik mereka memanfaatkan peran dari para
pengamba’, tengkulak, maupun para juragan darat untuk dapat memenuhi kebutuhan
sewaktu- waktu. Para pengamba’ ini
mengambil peran yang strategis dalam relasi patron klien ini soalnya mereka
akan membantu memberikan pinjaman uang kepada para nelayan buruh atau klien
untuk memenuhi kebutuhannya dan mereka tidak perlu lagi membayarnya pada waktu
yang ditentukan tetapi kapan saja mereka punya uang bahkan perkembangan
hubungan patron- klien para nelayan buruh tidak lagi hars membayarnya dalam
bentuk uang melainkan dengan hasil tangkapan ka mereka dimasa panen ikan. Peran
para patron ini sebagai penolong bagi para nelayan karena ditengah himpitan
ekonomi para nelayan merasa masih bisa mencukupi kehidupan keluarganya.
Hubungan
yang dibangun antara patron dan klien berbasis pada hubungan sosial dan ekonomi
artinya dari sisi yang lain hubungan patron -klien sebagai relasi yang
menghubungkan hubungan kekerabatan dan solidaritas yang kuat di antara mereka,
namun disisi lain hubungan patron klien dianggap sebagai hubungan berbasis pada
eksploitasi. Mengenai hubungan patron klien ini . Legg (1983) dalam Arif Satria (2002)[4],
mengungkapkan bahwa tata hubungan
patron- klien umumnya berkaitan dengan
1.
Hubungan
antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama.
2.
Hubungan
yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban.
3.
Hubungan
yang didasarkan pada asas saling menguntungkan.
Sedangkan dasar hubungan patron klien dalam masyarakat
pesisir puger hanya berbasis pada kepercayaan dan keberlanjutan dari relasi
tersebut. Para nelayan menganggap bahwa apa yang telah diberikan oleh para
orang yang di sini disebut sebagai patron seimbang dengan hasil tangkap yang
diberikan oleh para nelayan. Para nelayan ini tidak merasakan adanya bentuk
eksploitasi dari para patron terhadap dirinya. Dan keadaan seperti ini telah
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Para nelayan menyadari akan
kemiskinan dirinya dalam ekonomi namun mereka tidak menyadari dan tidak ingin
mencari tahu apa yang menjadi sebab dari kemiskinan mereka ini. kategori-
kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian bantuan penghidupan
subsistensi dasar , jaminan sosial,khususnya pemberian modal untuk pembelian alat tangkap dan klien menjual hasil tangkapannya terhadap
patron lebih rendah dari harga pasar .
dalam hal ini para nelayan dalam posisi sebagai Prince taker. Di puger misalnya para nelayan harus menjual harga ikan
lemuru dengan harga 15.000 per kg sedangkan harga pasar 20.000 per kg.
Menghadapi kenyataan seperti ini , nelayan tidak memiliki kekuatan untuk
meningkatkan posisi tawar mereka meskipun mereka sadar bahwa keadaan yang
seperti itu sangat merugikan mereka.
Relasi
Patron Klien Sebagai Bentuk Eksploitasi terhadap Kaum Nelayan
Jika
kita perhatikan bagaimana hubungan
patron - klien dalam kehidupan masyarakat pesisir ini berawal dan mengambil
peran dalam pemenuhan kehidupan para nelayan ketika di masa paceklik mereka
tidak berpenghasilan dan ketika mereka mau melaut membutuhkan perahu maka para
patron memberi bantuan menyewakan perahu mereka dengan sistem bagi hasil dari
hasil tangkapan nelayan. selain itu hubungan patron klien ini juga di latar
belakangi oleh struktur sosial masyarakat pesisir Puger yang mana menempatkan
posisi nelayan sebagai pihak yang terdominasi dan modal sosial yang kecil. Jika
kita kaitkan dengan teori Marx tentang kelas sosial[5].
“Ketika dalam masyarakat itu terdapat relasi kepemilikan
faktor produksi makan akan timbul yang namanya masyarakat kelas. Dari sini akan
muncul kelas- kelas yang mendominasi atau superordinat dan masyarakat sub
ordinat atau masyarakat yang terdominasi.”
namun mengapa
analisis marx ini kurang relevan untuk mengkaji permasalahan patron klien dalam
masyarakat pesisir. Ketika marx menyatakan dengan adanya pertentangan
kelas akan muncul kesadaran dalam kelas.
Kenyataannya dalam hubungan patron klien masyarakat pesisir jarang terjadi
pertentangan yang melibatkan hubungan si patron dan si klien dan kalaupun ada
konflik itu konflik yang secara horizontal antar sesama nelayan, perebutan
pembatas dan kepemilikan Rumpon. Dari analisis dengan menggunakan konsep marx
diatas dapat dijelaskan bahwa nelayan
sebagai kelompok yang terdominasi. Ketika para nelayan ini menjual hasil
tangkapannya pada pengamba’ dengan harga yang lebih murah dari harga pasar dan
mereka hanya berfikir untuk sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka
tanpa ada pikiran untuk mengakumulasi modal demi memperluas usaha untuk
mendapat keuntungan yang lebih. Tidak mengherankan ketika kemiskinan masih
banyak terjadi pada masyarakat pesisir atau nelayan Puger karena hasil
tangkapan tidak sesuai dengan jumlah uang atau penghasilan yang di dapat dan harga sudah ditentukan oleh para patron.
Selain itu
hubungan patron klien yang terjalin
dengan juragan darat atau pemilik kapal. Sistem bagi hasil yang diterapkan
bahwa 50% hasil tangkapan laut diberikan oleh pemilik kapal sedangkan 50%
dibagi dengan sejumlah ABK yang jumlahnya kurang lebih 50 orang dan masih
dipotong dengan biaya operasional dan perawatan kapal. Kondisi patron klien
yang demikian masih tetap berjalan dalam kebudayaan masyarakat sebelah selatan
Jember ini. Lalu masihkah kita harus bertanya mengapa kemiskinan dan
keterbelakangan tetap terjadi pada masyarakat pesisir? Maka rasanya tidak adil
bagi para nelayan jika kemiskinan itu di sebabkan oleh kultural, faktor
internal dari individu yang malas dan etos kerja yang kurang bagus. Karena pada
dasarnya nelayan sudah bekerja keras untuk mendapatkan hasil tangkapan untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya dan kemiskinan yang ada di dalam masyarakat
nelayan banyak disebabkan oleh faktor eksternal yakni struktur sosial dari
masyarakat Puger itu sendiri termasuk juga kebijakan pemerintah yang belum
benar- benar melihat permasalahan pesisir secara kompleks. seperti yang
terlihat dalam gambar di bawah ini[6]:
Pergeseran Relasi Patron Klien Di Masyarakat Nelayan
Puger
Seiring dengan perkembangan dinamika penduduk dalam
masyarakat pesisir, akan menimbulkan perubahan baru dalam struktur sosial
masyarakat. Ketika era kapitalisme ini sudah menjalar sampai pada masyarakat Puger
maka seseorang termasuk nelayan tidak lagi berorientasi pada kebutuhan
subsistem saja tetapi mulai berfikir bagaimana mendapatkan keuntungan yang
besar. Dari sinilah mulai muncul para nelayan pemilik karena dalam struktur sosial masyarakat Puger para pemilik
kapal ini termasuk orang yang secara ekonomi berada pada lapisan atas. Karena
banyaknya para nelayan pemilik maka untuk mengoperasikan perahunya mereka
banyak membutuhkan banyak ABK, jadi pergeseran di sini beralih dari yang
awalnya ABK ini banyak membutuhkan kapal untuk melaut, menjadi terbalik para
pemilik kapal mencari ABK untuk melaut.
Banyaknya
nelayan pemilik dan semakin dibutuhkannya para ABK ini maka akan membuat posisi
ABK menjadi pihak minoritas yang dominan.ini juga akan berpengaruh terhadap
pola bagi hasilnya, para nelayan memiliki nilai tawar yang lebih karena
posisinya sebagai pihak yang dibutuhkan dan kemunculan sistem upah harian dalam
kegiatan penangkapan. Sistem upahan ini juga disebabkan oleh kelangkaan tenaga
kerja . di Puger pada tahun 2009 upah per pandhiga dalam sekali melaut 15.000
yang pastinya memberatkan pemilik perahu. Posisi nelayan yang naik karena
banyak dibutuhkan akan mengakibatkan mereka saling bekerja sama secara
kolektif. Mereka akan membentuk suat hubungan yang fungsional dan saling
menguntungkan. Mungkin ketika kita melihat hal ini dar sudut pandang para
pemilik perahu dan para patron ini merugikan para patron, tetapi jika kita
melihatnya dari sudut pandang klien atau nelayan buruh ini akan membatu para
nelayan keluar dari lingkaran hubungan patron klien yang bersifat eksploitatif.
Keterlibatan para nelayan dengan adanya sistem kemitraan
akan membantu nelayan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya di masa paceklik dan membantuan meningkatnya usaha
penangkapan di masa panen ikan.
Namun
disisi yang lain, dalam unit penangkapan yang semakin modern seiring dengan
perkembangan dinamika penduduk tingkat kesenjangan Perolehan pendapatan di
nelayan Puger masih sangat besar antara nelayan buruh dan nelayan pemilik.
Adanya jenis pekerjaan baru seperti adanya pedagang [perantara, tengkulak dan
pengamba’ hanya menambah posisi nelayan semakin tersingkirkan. Ketidakpuasaan nelayan
buruh terhadap sistem bagi hasil yang demikian akan bertambah apabila operasi
perahu tidak mendapatkan penghasilan, nelayan buruh mendapatkan suat kompensasi
dalam bentuk apa apapun dari pemilik perahu tersebut. Sebenarnya apabila sistem
kemitraan dapat dijalankan dengan menerapkannya ke dalam koperasi dan memainkan
para pemegang saham untuk memperbesar usahanya sedangkan para nelayan ikut
mengoperasikan jalanya koperasi tersebut, sedikit banyak akan membantu dalam
upaya pemberdayaan masyarakat pesisir dan meningkatkan ekonomi perikanan.
Pertanyaannya akankah sistem kemitraan ini akan berjalan lama apabila
diterapkan di Puger? Jawabanya akan sulit, masalahnya kemunculan pedagang
perantara dalam proses produksi dan pemasaran hasil penangkapan ikan nelayan
telah menggantikan kedudukan dan peranan koperasi. Mengapa demikian karena di
derah puger sebelum adanya koperasi atau sebelum didirikannya koperasi para
pedagang perantara ini sudah memainkan peran yang sangat strategis. Tetapi
dalam upaya untuk memajukan koperasi yang dibentuk melalui sistem kemitraan ini
kita tidak bisa memutus hubungan begitu saja antara nelayan dan pedagang
perantara. Karena nelayan begitu terikat dengan mereka.
Meskipun
nelayan sangat bergantung dan terikat pada pedagang perantara, namun para
nelayan juga sering mengeluh terhadap tingkat harga yang ditentukan . jika
awalnya yang kita titik beratkan adalah ketika harga lebih rendah dari harga
pasar tetapi ini yang menjadi masalah para nelayan adalah hasil penimbangan
dari hasil tangkapan nelayan yang tidak sesuai dengan hasil timbangan para
nelayan. Jadi meskipun hasil tangkapannya banyak tidak berimbas positif bagi
para nelayan khususnya di Puger.
KONKLUSI
Pada dasarnya tidak selamanya struktur sosial masyarakat selalu terkait dengan
permasalahan yang di dalam masyarakat pesisir, baik itu dari segi ekonomi,
politik, sosial maupun budaya. Namun kita harus jeli melihat akar permasalahan
dalam masyarakat pesisir ini melalui konstruksi dari masyarakat yang tercermin
dalam struktur sosial masyarakatnya. Bagaimana posisi nelayan dalam dalam
masyarakat pesisir itu, bagaimana strategi hidup untuk bertahan dalam
masyarakat nelayan tertentu dan bagaimana pula mereka membangun dunia sosialnya
termasuk kitanya dengan kemunculan relasi patron klien dan pengaruhnya dalam
kehidupan selanjutnya? Itu semua dapat di telusuri dan di analisis melalui
struktur sosial masyarakatnya.
Tidak bisa di salahkan jika banyak anggapan
bahwa relasi patron klien yang muncul dalam kehidupan masyarakat pesisir berawal
dari hubungan yang sifatnya menolong menjadi hubungan yang di anggap
monopolistik, hal ini didasari pada konsep mengenai patron klien yang basis
hubungan mutualisme. Namun kenyataannya sekarang ini hubungan patron klien
banyak merugikan nelayan. Sebelum masa panen ikan tiba para nelayan banyak
pinjam uang pada para pengamba’ atau pedang perantara. Dan para nelayan buruh
tidak perlu membayarnya dalam bentuk uang melainkan di bayarkan dengan menjual
hasil tangkapan ikan pada para pengamba’. Ini yang dianggap sebagai relasi yang
berbasis pada hubungan sosial dan berlangsung lama hingga sampai sekarang ini.
Namun hubungan patron klien ini berkembang menjadi hubungan keterikatan yang
akhirnya banyak nerugkan para nelayan dan juga dapat dikatakan sebagai penyebab
nelayan miskin, nelayan buruh juga di
dapat disebut sebagai lapisan sosial yang paling miskin di pedesaan pesisir[7].
Ikatan patron- klien menjalankan mekanisme
dengan cara khususnya pemberian
modal untuk pembelian alat tangkap dan klien menjual hasil tangkapannya terhadap
patron lebih rendah dari harga pasar .
dalam hal ini para nelayan dalam posisi sebagai pengambil harga dan mekanisme
harga sudah si tentukan oleh para pengamba’ ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Kusnadi.2002.Konflik
Sosial Nelayan: Kemiskinan Dan Perebutan
Sumber Daya Perikanan.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta
Satria,
Arif.2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat
Pesisir.Jakarta:PT PUSTAKA CIDESINDO.
Kusnadi.2003.Membela
Nelayan.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Purwanto,
Hery. 2007.Strategi Hidup Masyarakat Nelayan.Yogyakarta: LKiS Yogyakarta
Kusnadi.2000.Perempuan Pesisir.Yogyakarta: LKiSYogyakarta
Internet:
http://www.voaislam.com/news/indonesianaml2ng7-musim-ikan-nelayan-jember-malah-tak-bisa-melaut.htm/2012/02/23/17876
/ (diakses tanggal 25-05-2013 pukul 17.20 WIB
Berita
REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER pada
hari kamis, 11 April 2013, 10:38 WIB
[1] Solik wahyuni adalah Mahasiswa Jurusan
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
[2] Kusnadi dalam “Membela Nelayan”2013:34.
[4] Arif Satria dalam buku pengantar sosiologi
masyarakat pesisir 2002:32.
[6] Gambar
tersebut diambil dari http://www.voaislam.com/news/indonesianaml2ng7-musim-ikan-nelayan-jember-malah-tak-bisa-melaut.htm/2012/02/23/17876
/ (diakses tanggal 25-05-2013 pukul 17.20 WIB
[7] Kusnadi dalam buku”konflik sosial
nelayan:kemiskinan dan perebutan sumber daya perikanan2002: 1-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar