Perahu
merupakan salah satu hasil budaya bahari sejak jaman prasejarah yang memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia termasuk Nusantara sebagai
alat transportasi air, alat komunikasi antar masyarakat, perdagangan, mencari
ikan dan berkaitan dengan religi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir
Nusantara. Perahu di Nusantara memiliki ciri penggunaan cadik dan tanpa cadik
yang merupakan kekhasan perahu Austronesia. Persebaran perahu bercadik tunggal
sangat luas di Nusantara. Perahu juga digunakan sebagai peti mati atau tempat
penguburan mayat yang terlihat pada suku Dayak Ngaju bermakna bahwa orang mati
akan berpindah kea lam arwah dengan menggunakan perahu sebagai wahananya. Pada
komunitas Austronesia, perahu memiliki bentuk yang bervariasi yang digunakan
dalam konteks kematian. Peti mati berbentuk perahu juga dipahat dari kayu atau
bongkahan batuan, dan bentuk motif perahu juga digambarkan pada kain dari kulit
kayu dan kayu disimpan pada situs penguburan. Praktek penguburan dengan peti
mati berbentuk perahu tidak hanya ada di Nusantara, namun ditemukan juga ddi
Semenanjung Malaysia, Filipina dan Kepulauan Solomon.
Perahu Nusantara memiliki motif
dengan menggunakan perunggu yang dikenal dengan Nekara perunggu (kettledrum) yang merupakan salah satu
warisan budaya logam sebagai komoditas perdagangan pada masa perundagian yang
tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia menurut Soejono dalam Agus
(2009:27). Nekara perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki motif geometri,
benda langit, figure manusia, bentuk bangunan, fauna seperti burung, katak dan
rusa serta perahu. Hiasan motif perahu ditemukan pada nekara di Kebumen,
Sangeang, Salayar, Roti, Leti dan Kur menurut Kempers dalam Agus (2009:28).
Motif perahu merepresentasikan “Totality
and Holy Life” atau kemutlakan dan kehidupan yang suci”
Perahu sebagai sarana transportasi
air adalah usaha adaptasi manusia untuk menghadapi kondisi lingkungan alam
sekitarny. Pada dasarnya prinsip dari sebuah perahu adalah benda yang dapat
mengapung, dapat mengangkut manusia dan barang bawaan, serta dikendalikan ke
tempat yang dituju. Pada mulanya perahu berbentuk rakit kemudian menjadi cadik.
Dari segi teknologi, perahu dikelompokkan menjadi bentuk perahu lesung atau
kano (dugout canoe) dan perahu papan (planked boat). Tipe perahu lesung
antara lain sampan, jukung dan lesung yang dibuat dengan cara memahat kayu
hingga berbentuk rongga memanjang untuk penumpang atau barang dan berbentuk
runcing pada ujungnya. Untuk perahu papan bahan kayu yang digunakan tidak satiu
pohon saja, sehingga bentuk perahu yang dihasilkan lebih beragam. Pembuatan
perahu juga menggunakan teknik ikat yang menggunakan bahan tali ijuk untuk
menyatukan papan-papan badan perahu. Selain itu digunakan tambuko untuk
menyatukan badan perahu dengan gading-gading. Perahu tradisional di Nusantara
sangat bervariasi dengan unsur-unsur utama mencakup lunas atau dasar, lambung,
linggi, dayung, kemudi, tiang, dan layar perahu.
Dalam upaya untuk mengetahui
bentuk-bentuk perahu pada seni cadas di Indonesia perlu diperhatikan beberapa
hal yaitu membedakan konstruksi lambung menjadi dua tipe teknologi konstruksi.
Pertama yaitu konstruksi lambung satu batang pohon dan lambung lima komponen. Konstruksi
kedua yaitu konstruksi lambung papan. Selain itu, diperhatikan bentuk layar dan
tiang layar. Perahu Austronesia pada awalnya memiliki layar segitiga dan tidak
selalu memakai tiang layar. Perahu layar segitiga yang memakai tiang layar,
biasanya pendek. Layar segiempat agak panjang digantung miring dan digunakan
setelah zaman masehi. Pada perkembangannya, konstruksi tiang layar diperkuat
dengan kaki tiga pada perahu layar segi empat menurut Mahdi dalam Agus
(2009:33)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar