Senin, 06 Januari 2014

Illegal Fishing : Penggunaan Alat Tangkap Nelayan yang Berujung Pada Kerusakan Ekosistem Laut di Kabupaten Gresik



by  @TriSulis_S
Illegal Fishing adalah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan baik kapal berbendera Indonesia ataupun asing di perairan Nusantara dengan berbagai modus operandi, seperti tanpa dokumen izin, pelanggaran daerah penangkapan (fishing ground), menyalahi ketentuan alat tangkap, melabuhkan hasil tangkapannya di negara lain. Salah satu bentuk illegal fishing yang sering dijumpai di Nusanata adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem laut. Kerusakan tersebut terjadi mayoritas disebabkan oleh penggunaan jaring trawl, pukat harimau, bahan peledak oleh nelayan yang hanya ingin meningkatkan produktivitas penangkapan dengan cara yang mudah. Kerusakan ekosistem atau biota laut banyak terjadi di seluruh wilayah perairan negara Indonesia. Salah satunya terjadi di kawasan perairan kabupaten Gresik provinsi jawa Timur. Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan (DKPP) Kabupaten Gresik mencatat bahwa dari 85,5 hektar terumbu karang yang ada di perairan kabupaten Gresik hampir separuhnya mengalami kerusakan. 
Potensi perikanan yang besar menjadi lahan perebutan ekonomi yang dapat menunjang pendapatan masyarakat dan daerah. Namun, eksploitasi yang kebablasan menjadi masalah bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yang ada di perairan. Tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab dari para nelayan dan perusahaan yang berada di dekat perairan menjadikan kawasan perairan di kabupaten Gresik menjadi rusak dan tercemar. Nelayan-nelayan yang ingin meningkatkan produktivitasnya secara mudah menggunakan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem laut yang didalamnya terdapat terumbu karang yang menjadi habitat bagi ikan-ikan untuk bertelur, mencari makan, dan sebagainya. Jaring trawl, pukat harimau menjadi bagian dari alat perusak terumbu karang yang dilakukan oleh nelayan-nelayan.
Kerusakan ekosistem laut seperti kerusakan terumbu karang menjadi masalah yang cukup serius karena mengakibatkan hilangnya populasi kakap merah di perairan Gresik, sehingga mempengaruhi hasil tangkapan ikan laut bagi nelayan Gresik. Terumbu karang adalah habitat bagi ikan-ikan karang untuk mencari makan, bertelur, dan sebagainya. Dua tahun terakhir, populasi kakap merah di Gresik sudah menghilang. Dan juga produksi ikan yang lainnya di Gresik menurun drastis. Misalnya pada tahun 2007 produksi ikan bisa mencapai 22.503,97 ton, namun tahun 2008 hanya mampu memproduksi 14.079,33 ton. Walaupun pihak dinas perikanan, dan kelautan Jawa Timur telah melarang keras eskplorasi karang dalam bentuk apapun, yang mengacu pada undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai, tetapi jika tidak diimbangi dengan peningkatan pengawasan maka hasilnya akan sia-sia. Karena faktor lemahnya pengawasan, dalam arti jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah nelayan serta luasnya kawasan perairan Gresik menjadi kendala utama untuk mengoptimalkan pengawasan. 

Kawasan pesisir dan lautan kabupaten Gresik terdapat beberapa masalah yang cukup serius seperti kerusakan yang disebabkan oleh jaring trawl yang digunakan oleh sebagian nelayan dan pencemaran zat cair dari hasil limbah produksi perusahaan yang dapat merusak keberadaan ekosistem dan pada akhirnya akan berdampak langsung pada penurunan produktivitas nelayan. Selama ini, anggaran untuk pelestarian perairan Gresik, hanya dengan membuat terumbu karang buatan, dengan anggaran Rp 70.000.000,00. Anggaran tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan pemeliharaan, karena untuk pemeliharaan satu rumpun terumbu karang saja memerlukan biaya sekitar Rp 3.000.000,00. Sedangkan untuk menumbuhkan satu sentimeter membutuhkan waktu setahun. Dapat dikatakan rehabilitasi terumbu karang membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun. Ini sangat tidak sebanding dengan perbuatan tidak bertanggung jawab yang hanya merusak terumbu karang sehingga dapat mengubah laut, tidak lagi menjadi mata pencaharian nelayan tetapi bakal menimbulkan bencana.
Namun masih ada alternatif untuk membenahinya berdasarkan penelitian dilakukan oleh Dr Graham Forrester, dari Universitas Rhode Island, yakni trasplantasi/pencangkokan dapat menjadi alternatif solusi murah dan sederhana yang dapat digunakan untuk memperbaiki terumbu karang yang rusak. Teknisnya dengan menggunakan fragmen karang patah dan ditransplantasikan ke situs restorasi. Mereka menemukan bahwa potongan yang ditransplantasikan menempelkan “dirinya” sendiri setelah tiga bulan dan dalam 4 tahun dapat tumbuh menjadi karang dewasa. “Untuk menggunakan analogi berkebun, karang sumber seperti kebun pohon buah,” kata Forrester. Kerusakan dari beberapa ranting dari pohon-pohon akan direboisasi dengan mentransplantasikan ranting tersebut sehingga tumbuh dan mekar untuk membentuk sebuah kebun baru. Proses restorasi yang sederhana serta hanya membutuhkan sedikit pelatihan, memindahkan dan menempelkan kembali fragmen karang dapat dilakukan oleh penyelam rekreasi dan dapat menjadi kegiatan pendidikan publik dan diadopsi oleh kelompok-kelompok relawan. Karenanya seluruh elemen harus menyadari bahwa menjaga kelestarian sumber daya kelautan berarti merupakan suatu upaya penting dalam menjamin produktivitas sumber daya perikanan. Karena banyak manfaat terumbu karang bagi kehidupan manusia. Selain merupakan aset wisata bahari, juga berfungsi benteng alami pantai dari gempuran ombak, bahkan sumber makanan dan obat-obatan. Tak heran, jika ratusan juta orang hidupnya sangat bergantung pada terumbu karang di coral triangle.
Sebagian masyarakat nelayan juga memiliki local wisdom dalam mengelola sumberdaya perikanan dan persepsi atas kehidupan yang saling keterikatan antara lingkungan dengan manusia. Nilai-nilai kearifan lokal dapat disampaikan kepada masyarakat melalui cerita-cerita rakyat (folklore) yang berisi pesan-pesan terselubung mengenai konservasi alam. Peter L. Berger menyebutkan bahwa proses internalisasi atau penyerapan nilai-nilai dari proses eksternalisai atau penyampaian nilai-nilai melalui sosialisasi dapat membentuk konstruksi sosial. Konstruksi sosial inilah yang membuat masyarakat bekerja dan menjalani kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dari proses eksternalisasi yang dialaminya. Misalnya nelayan-nelayan Bugis yang mempercayai anu territa sebagai makhluk yang tidak terlihat yang dapat membahayakan nelayan jika menangkan ikan di wilayah yang tidak semestinya. Cerita-cerita tersebut dapat membentuk konstruksi sosial tentang baik dan buruk jika melakukan tindakan yang tidak semestinya.

Referensi :
Kusnadi, 2007.Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta : LKiS
Satria, Arif, 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta : LKiS
Karya tulis yang dibukukan berjudul Ratapan dari Bawah Laut. Diterbitkan oleh Rayhan Intermedia pada tahun 2009. Diakses melalui ebook.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar