by @TriSulis_S
Illegal Fishing adalah penangkapan
ikan yang dilakukan oleh nelayan baik kapal berbendera Indonesia ataupun asing di
perairan Nusantara dengan berbagai modus operandi, seperti tanpa dokumen izin,
pelanggaran daerah penangkapan (fishing
ground), menyalahi ketentuan alat tangkap, melabuhkan hasil tangkapannya di
negara lain. Salah satu bentuk illegal fishing yang sering dijumpai di Nusanata
adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem laut.
Kerusakan tersebut terjadi mayoritas disebabkan oleh penggunaan jaring trawl, pukat harimau, bahan peledak oleh
nelayan yang hanya ingin meningkatkan produktivitas penangkapan dengan cara
yang mudah. Kerusakan ekosistem atau biota laut banyak terjadi di seluruh
wilayah perairan negara Indonesia. Salah satunya terjadi di kawasan perairan
kabupaten Gresik provinsi jawa Timur. Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan
(DKPP) Kabupaten Gresik mencatat bahwa dari 85,5 hektar terumbu karang yang ada
di perairan kabupaten Gresik hampir separuhnya mengalami kerusakan.
Potensi
perikanan yang besar menjadi lahan perebutan ekonomi yang dapat menunjang
pendapatan masyarakat dan daerah. Namun, eksploitasi yang kebablasan menjadi
masalah bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yang ada di perairan.
Tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab dari para nelayan dan perusahaan
yang berada di dekat perairan menjadikan kawasan perairan di kabupaten Gresik
menjadi rusak dan tercemar. Nelayan-nelayan yang ingin meningkatkan
produktivitasnya secara mudah menggunakan alat tangkap yang dapat merusak
ekosistem laut yang didalamnya terdapat terumbu karang yang menjadi habitat
bagi ikan-ikan untuk bertelur, mencari makan, dan sebagainya. Jaring trawl, pukat harimau menjadi bagian dari
alat perusak terumbu karang yang dilakukan oleh nelayan-nelayan.
Kerusakan ekosistem laut seperti kerusakan terumbu karang
menjadi masalah yang cukup serius karena mengakibatkan hilangnya populasi kakap
merah di perairan Gresik, sehingga mempengaruhi hasil tangkapan ikan laut bagi
nelayan Gresik. Terumbu karang adalah habitat bagi ikan-ikan karang untuk
mencari makan, bertelur, dan sebagainya. Dua tahun terakhir, populasi kakap
merah di Gresik sudah menghilang. Dan juga produksi ikan yang lainnya di Gresik
menurun drastis. Misalnya pada tahun 2007 produksi ikan bisa mencapai 22.503,97
ton, namun tahun 2008 hanya mampu memproduksi 14.079,33 ton. Walaupun pihak
dinas perikanan, dan kelautan Jawa Timur telah melarang keras eskplorasi karang
dalam bentuk apapun, yang mengacu pada undang-undang nomor 27 tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai, tetapi jika tidak diimbangi dengan peningkatan
pengawasan maka hasilnya akan sia-sia. Karena faktor lemahnya pengawasan, dalam
arti jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah nelayan serta luasnya
kawasan perairan Gresik menjadi kendala utama untuk mengoptimalkan
pengawasan.
Kawasan pesisir dan lautan kabupaten Gresik terdapat
beberapa masalah yang cukup serius seperti kerusakan yang disebabkan oleh
jaring trawl yang digunakan oleh
sebagian nelayan dan pencemaran zat cair dari hasil limbah produksi perusahaan
yang dapat merusak keberadaan ekosistem dan pada akhirnya akan berdampak
langsung pada penurunan produktivitas nelayan. Selama ini, anggaran untuk
pelestarian perairan Gresik, hanya dengan membuat terumbu karang buatan, dengan
anggaran Rp 70.000.000,00. Anggaran tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan
pemeliharaan, karena untuk pemeliharaan satu rumpun terumbu karang saja memerlukan
biaya sekitar Rp 3.000.000,00. Sedangkan untuk menumbuhkan satu sentimeter
membutuhkan waktu setahun. Dapat dikatakan rehabilitasi terumbu karang membutuhkan
waktu ratusan hingga ribuan tahun. Ini sangat tidak sebanding dengan perbuatan
tidak bertanggung jawab yang hanya merusak terumbu karang sehingga dapat
mengubah laut, tidak lagi menjadi mata pencaharian nelayan tetapi bakal
menimbulkan bencana.
Namun masih ada alternatif untuk membenahinya berdasarkan
penelitian dilakukan oleh Dr Graham Forrester, dari Universitas Rhode Island, yakni
trasplantasi/pencangkokan dapat menjadi alternatif solusi murah dan sederhana
yang dapat digunakan untuk memperbaiki terumbu karang yang rusak. Teknisnya
dengan menggunakan fragmen karang patah dan ditransplantasikan ke situs
restorasi. Mereka menemukan bahwa potongan yang ditransplantasikan menempelkan
“dirinya” sendiri setelah tiga bulan dan dalam 4 tahun dapat tumbuh menjadi
karang dewasa. “Untuk menggunakan analogi berkebun, karang sumber seperti kebun
pohon buah,” kata Forrester. Kerusakan dari beberapa ranting dari pohon-pohon
akan direboisasi dengan mentransplantasikan ranting tersebut sehingga tumbuh
dan mekar untuk membentuk sebuah kebun baru. Proses restorasi yang sederhana
serta hanya membutuhkan sedikit pelatihan, memindahkan dan menempelkan kembali
fragmen karang dapat dilakukan oleh penyelam rekreasi dan dapat menjadi
kegiatan pendidikan publik dan diadopsi oleh kelompok-kelompok relawan. Karenanya
seluruh elemen harus menyadari bahwa menjaga kelestarian sumber daya kelautan
berarti merupakan suatu upaya penting dalam menjamin produktivitas sumber daya
perikanan. Karena banyak manfaat terumbu karang bagi kehidupan manusia. Selain
merupakan aset wisata bahari, juga berfungsi benteng alami pantai dari gempuran
ombak, bahkan sumber makanan dan obat-obatan. Tak heran, jika ratusan juta
orang hidupnya sangat bergantung pada terumbu karang di coral triangle.
Sebagian masyarakat nelayan juga memiliki local wisdom dalam mengelola sumberdaya
perikanan dan persepsi atas kehidupan yang saling keterikatan antara lingkungan
dengan manusia. Nilai-nilai kearifan lokal dapat disampaikan kepada masyarakat
melalui cerita-cerita rakyat (folklore)
yang berisi pesan-pesan terselubung mengenai konservasi alam. Peter L. Berger
menyebutkan bahwa proses internalisasi atau penyerapan nilai-nilai dari proses
eksternalisai atau penyampaian nilai-nilai melalui sosialisasi dapat membentuk
konstruksi sosial. Konstruksi sosial inilah yang membuat masyarakat bekerja dan
menjalani kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dari proses
eksternalisasi yang dialaminya. Misalnya nelayan-nelayan Bugis yang mempercayai
anu territa sebagai makhluk yang
tidak terlihat yang dapat membahayakan nelayan jika menangkan ikan di wilayah
yang tidak semestinya. Cerita-cerita tersebut dapat membentuk konstruksi sosial
tentang baik dan buruk jika melakukan tindakan yang tidak semestinya.
Referensi :
Kusnadi, 2007.Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta :
LKiS
Satria, Arif, 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta :
LKiS
Karya tulis yang dibukukan berjudul Ratapan dari Bawah Laut. Diterbitkan
oleh Rayhan Intermedia pada tahun 2009. Diakses melalui ebook.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar